Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Tmt Rahman Panigoro Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Direktur Reserse Umum Polda Gorontalo, Cq Kapolres Boalemo,Cq Kasat Reskrimum Polres Boalemo Cq. Kapolsek Wonosari, Cq. Kanit Reskrim Polsek Wonosari Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 06 Feb. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Tanggal Surat Kamis, 06 Feb. 2020
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Pemohon
NoNama
1Rahman Panigoro
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Direktur Reserse Umum Polda Gorontalo, Cq Kapolres Boalemo,Cq Kasat Reskrimum Polres Boalemo Cq. Kapolsek Wonosari, Cq. Kanit Reskrim Polsek Wonosari
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
 Gorontalo, 06 Februari 2020
Hal : PERMOHONAN PRAPERADILAN
Kepada Yang Terhormat,
Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta
Di –
Boalemo.
 
Dengan Hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini :
MUH. SYARIF LAMANASA, SH., MH.
ISHAK SUKO, SH.
Adalah Advokat/Pengacara dan konsultan Hukum pada kantor hukum LAMANASA & PARTNERS yang beralamat di Jln. Raja Eyato No. 94, Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 03 Februari 2020 yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tilamuta (terlampir) baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama :
Nama : Rahman Panigoro
Tempat tanggal lahir : Molombulahe, 11 Februari 1973
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Tangga II, Desa Sari Tani, Kecamatan Wonosari,
Kabupaten Boalemo, Gorontalo.
 
Dalam hal ini memilih domisili hukum pada alamat kuasanya tersebut di atas. Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON;
 
Dengan ini PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan atas Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka Angka 10, Huruf (a), Angka 14, Angka 20, Angka 21, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 184 KUHAP dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dalam dugaan Tindak Pidana Pencabulan sebagaimna dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang RI No. 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dilakukan oleh :
 
KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, Cq. Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo Cq. Direktur Reserse Umum Polda Gorontalo, Cq. KAPOLRES Boalemo, Cq. KASAT RESKRIMUM Polres Boalemo, Cq. KAPOLSEK Wonosari, Cq. Kanit Reskrim Polsek Wonosari yang beralamat di Jl. Bhayangkara No. 01. Desa Harapan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;
 
Adapun alasan PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan adalah sebagai berikut :
 
I.  DASAR HUKUM PERMOHONAN :
1. Bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuanketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP pada hakekatnya dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini PEMOHON. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang pada hakekatnya memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang;
3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan, sebagaimana secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor. 21/PUUXII/ 2014, telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penangkapan adalah merupakan objek praperadilan;
4. Bahwa pengujian keabsahan penyelidikan, penyidikan, penetapan Tersangka, penangkapan, maupun penahanan melalui lembaga Praperadilan, karena kesemuanya itu adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan” adalah Praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label Tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan Penangkapan pada hakekatnya adalah keseluruhan proses dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa. Seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan tanpa adanya keadaan bahwa seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya seseorang ditangkap, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga Negara;
5. Bahwa dengan adanya tindakan penangkapan terhadap diri PEMOHON, yang dilakukan oleh TERMOHON tidak berdasarkan hukum, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang dalam hal ini PEMOHON untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan penangkapan PEMOHON melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak untuk menilai keabsahan tindakan penyidik ini sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam Pasal 17, UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. Hal ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”;
6. Bahwa dalam praktik hukum pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam due process of law menguji dua hal, yaitu: (1) apakah Negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik Tersangka tanpa prosedur?.; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process of law. (Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution, Santa Barbara: Greenwood Publishing Group, halaman 1);
7. Bahwa sangat beralasan bilamana Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON diajukan kehadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji di pengadilan adalah Penangkapan PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON sehingga berakibat hilangnya kebebasan PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PEMOHON akibat tindakan TERMOHON yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana; 
8. Bahwa dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi, “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil PEMOHON mengenai penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”; (Putusan MK hal 105-106) 
 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. TENTANG PENANGKAPAN TIDAK SAH:
1. Bahwa pada hari kamis siang tanggal 14 November 2019 pukul 12.00 Wita sekitar 6 (enam) orang anggota POLSEK Wonosari mendatangi rumah PEMOHON yang beralamat di Desa Sari Tani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo;
2. Bahwa salah satu dari ke 6 (enam) orang tersebut bertanya kepada istri PEMOHON, dimana PEMOHON?, istrinya menjawab PEMOHON bahwa PEMOHON lagi istrahat siang. Namun mereka bersih keras agar PEMOHON dibangunkan;
3. Bahwa kemudian setelah PEMOHON bangun dan bertemu dengan keenam orang tersebut, PEMOHON menanyakan; ada apa pak??? Dan dijawab oleh mereka (polisi), Bapak harus ikut dengan kami ke polsek Wonosari. Nanti keluarga menyusul saja! Kemudian PEMOHON dan istri PEMOHON berkali-kali menanyakan; ada masalah apa paitua sampai dibawa kepolsek? dan hanya dijawab oleh mereka; pokoknya bapak kami bawa dulu kepolsek, nanti keluarga datang saja!;
4. Bahwa akhirnya PEMOHON tetap dibawa kepolsek Wonosari sambil dipegang tangannya oleh sekitar 2 (dua) orang untuk dinaikkan ke mobil. Padahal PEMOHON tidak melawan dan hanya bertanya ada masalah apa ini??;
5. Bahwa keenam orang tersebut tidak menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;
6. Bahwa merekapun tidak menunjukkan surat perintah penangkapan serta tanpa memberitahukan alasan penangkapan dan juga tidak menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan kepada PEMOHON;
7. Bahwa PEMOHON maupun keluarganya menerima surat penangkapan nanti pada hari Sabtu, tanggal 16 November 2019 atau dua hari setelahnya. Adapun surat tersebut adalah Surat Perintah Penangkapan, No. Sprin. Kap/09/XI/RES1.24/2019/Reskrim. Yang ditandatangani oleh KASAT RESKRIM POLRES BOALEMO atas nama RAIDMUN LAHMUDIN. Yang berbunyi berbunyi “surat perintah ini berlaku dari tanggal 15 November 2019”;
8. Bahwa berdasarkan surat penangkapan yang diterima setelah dua hari kemudian tersebut diatas, diketahuilah bahwa perkara ini berdasarkan laporan polisi dengan No. LP/24/XI/2019/Res-Blmo/Sek-Wns, tertanggal 14 November 2019 dan bukanlah perkara TERTANGKAP TANGAN;
9. Bahwa sebagaimana dalam Pasal 17, dan Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi.
Pasal 17 “Perintah Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”
Pasal 18 ayat (1) “pelaksanaan tugas penagkapan dilakukan oleh petugas kepolisian NRI dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penagkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.
10. Bahwa dalam PERKAP NO. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaran Kepolisian pada Pasal 17 yang berbunyi:
Ayat (1) dalam melakukan penangkapan setiap petugas wajib untuk:
a. Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas POLRI
b. Menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan.
c. Memberitahukan alasan penangkapan.
d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan.
e. …..dst 
11. Bahwa berdasarkan regulasi diatas, dikaitkan dengan penangkapan yang dilakukan oleh TERMOHON terbukti bahwa penangkapan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah TIDAK SAH menurut hukum; 
2. TENTANG TINDAK KEKERASAN YANG DIALAMI OLEH PEMOHON DI POLSEK WONOSARI
 
1. Bahwa setelah sampai dipolsek Wonosari, sekitar pukul 17.30 wita atau pada sore menjelang malam. Kemudian PEMOHON di ajak masuk kesuatu ruangan gelap (bukan sel tahanan) oleh Anggota Polisi yang bernama EPAN PUHI (anggota Intel Sek Wonosari);
2. Bahwa pada saat PEMOHON dan EPAN PUHI hanya berdua didalam ruangan tersebut. Kemudian EPAN PUHI sambil menyalakan korek api gas yang dipengangnya dan meminta PEMOHON untuk mengakui perbuatan cabul yang dituduhkannya kepadanya dan sambil berkata “kalau ti pak tidak mengaku, korek ini akan ti pak rasa sabantar”. Karena PEMOHON tidak pernah melakukan perbuatan cabul terhadap siapa saja, maka PEMOHON menolak permintaan pengakuan tersebut;
3. Bahwa karena EPAN PUHI tidak mendapatkan keinginannya, maka PEMOHON dipindah dan diantarkan oleh EPAN PUHI keruang gelap kedua dan diruangan gelap itu sudah menunggu 2 (dua) orang lainnya. Kemudian EPAN PUHI keluar ruangan tersebut dan tinggallah PEMOHON dan 2 (dua) orang itu yang berada ruangan gelap dan seram tersebut. Dan selanjutnya kedua orang itupun secara bergantian menampar PEMOHON sambil berkata; “mangaku saja, kalau tidak mangaku, maka akan sakit badanmu”. Dan PEMOHON tetaplah menolak permintaan/keinginan dari mereka;
4. Bahwa kemudian lagi EPAN PUHI masuk keruangan tersebut dan memindahkan PEMOHON ke ruangan gelap yang ketiga dan disana ada 2 (dua) orang lagi. Kemudian PEMOHON langsung dimukul pada kedua telinganya, ditampar wajahnya, ditonjok bagian perutnya dan ulu hatinya, kemudian kedua orang itu mengakatan; “kalau tidak mangaku, torang somo ikat, deng mulut mo pake slas ban”. Karena PEMOHON sudah dianiaya habis-habisan dan merasakan sakit yang luar biasa, maka DEMI MEMPERTAHANKAN NYAWANYA, PEMOHON MENGIKUTI KEINGINAN MEREKA (EPAN PUHI dkk);
5. Bahwa setelah PEMOHON mengikuti keinginan EPAN PUHI dkk tersebut, maka PEMOHON dikeluarkanlah dari ruangan yang ketiga itu, kemudian datanglah Anggota yang bernama MUHAJIR PODOMI (KANIT RESKRIM) juga yang tercatat namanya dalam Surat Perintah Penangkapan No. Sprin.Kap/09/XI/RES1.24/2019/Reskrim tertanggal 15 November 2019, dan melumuri kemaluan PEMOHON dengan BALSEM GELIGA sampai balsem tersebut habis;
6. Bahwa setelah rangkaian penyiksaan yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON, maka sekitar pukul 03.00 dini hari, pada hari jumat, tanggal 15 November 2019, langsung BAP oleh penyidik;
7. Bahwa setelah PEMOHON di BAP, EPAN PUHI mendatangi PEMOHON lagi dan meminta agar  tidak diceritakan Penyaniayaan yang dilakukannya tersebut kepada siapapun;
8. Bahwa karena PEMOHON takut terjadi apa-apa pada diri PEMOHON akibat perbuatan TERMOHON, maka PEMOHON pada besoknya menceritakan kejadian penganiayaan itu pada rekan dan saudara PEMOHON dengan syarat, bahwa mereka harus menjaga PEMOHON karena PEMOHON masih di dalam tahanan POLSEK Wonosari;
9. Bahwa berdasarkan pasal 117 ayat (1) KUHAP berbunyi “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”;
10. Bahwa dalam PERKAP NO. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaran Kepolisian pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Instrumen perlindungan Hak yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, 28, dan 29 UUD NRI 1945 meliputi; huruf (v) Hak untuk tidak disiksa. Huruf (bb) Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia”;
11. Bahwa selanjutnya dalam pasal 11 ayat (1) PERKAP NO. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaran Kepolisian. Berbunyi “setiap petugas/anggota polri dilarang melakukan; huruf (b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Huruf (d) penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Huruf (g) penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment). Huruf (j) menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan”.
Kemudian dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (a) “dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, anggota Polri dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis, seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan”.
Kemudian dalam pasal 23 huruf (e) “tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai berikut; tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji, dan tidak manusiawi, mendapatkan perlakuan dan hukuman yang merendahkan martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya”.
Kemudian dalam pasal 24 huruf (a) “dalam melaksakan tindakan penahanan petugas dilarang menyalahgunakan kewenangan investigasi untuk melakukan tindakan siksaan badan terhadap seseorang”. Huruf (b) “malakukan ancaman atau tindakan kekerasan fisik, psikis dan/atau seksual terhadap tersangka untuk mendapatkan keterangan, pengakuan”;
12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka telah terlihat dengan jelas, terjadi pelanggaran aturan yang dilakukan oleh TERMOHON untuk mendapatkan pengakuan yang kemudian dituangkan dalam BAP yang dihasilkan dari ancaman, siksaan, paksaan dan kekerasan fisik terhadap PEMOHON, dengan demikian BAP yang dibuat dan diperoleh dengan cara tersebut diatas adalah TIDAK SAH;
13. Bahwa kejadian kekerasan yang dilakukan oleh TERMOHON sebagaimana yang dijelaskan diatas, telah dilaporkan ke Propam Polda Gorontalo.
3. TENTANG PROSES PENYIDIKAN DAN PENETAPAN TERSANGKA
 
1. Bahwa setelah PEMOHON memdapat siksaan, kekerasaan dan ancaman dan akhirnya PEMOHON dengan sangat terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan tersebut, dikarenakan rasa takut dan rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi dan kemudian PEMOHON akhirnya di BAP;
2. Bahwa pada saat PEMOHON dimintai keterangan BAP mulai sekitar pukul 03.00 dini hari, tanggal 15 November 2019, hari jumat, dan PEMOHON tidak didampingi oleh Penasehat Hukum hingga pemeriksaan BAP selesai sekitar pukul 04.30 dini hari, hari jumat, tanggal 15 November 2019;
3. Bahwa sebagaimana tertuang dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP berbunyi “dalam Hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, atau ancaman pidana 15 (lima belas) tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka”;
4. Bahwa dalam ketentuan Pasal 114 KUHAP menyebutkan: “Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP”, sementara dalam Pasal 115 ayat (1) KUHAP menyebutkan : “dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, Penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan”.
5. Bahwa dalam Pasal 27 PERKAP No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI, ayat (1) huruf (a) menyebutkan : “setiap petugas yang melakukan tindakan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa wajib : (a) memberikan kesempatan kepada saksi, tersangka atau terperiksa untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai”, Ayat (2) huruf (a) menyebutkan : “dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang : (a) memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi oleh penasehat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa.”;
6. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi pada Putusan MA RI dengan Nomor 367 K/Pid/1998, tertanggal 29 Mei 1998, yang pada pokoknya menyatakan : “bahwa bila tidak didampingi oleh penasehat hukum ditingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut umum batal demi hukum.” ;
7. Bahwa dengan demikian hasil BAP yang didapat dengan cara yang tidak benar dan juga PEMOHON tidak pernah didampingi oleh penasehat hukum pada saat dilakukannya pemeriksaan BAP, maka PENYIDIKAN yang dilakukan oleh TERMOHON adalah TIDAK SAH;
8. Bahwa perbuatan yang dituduhkan TERMOHON kepada PEMOHON berdasarkan laporan polisi No. LP/24/XI/2019/Res-Blmo tertanggal 14 November 2019, kemudian terbit surat perintah penyidikan No. SP. Sidik/11.a/X/RES.1.24./2019/Reskrim, tertanggal 14 November 2019;
9. Bahwa jika dikaitkan kedua surat pada poin diatas, dan dihubungkan dengan penangkapan yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap diri PEMOHON pada hari kamis, sekitar pukul 12.00 siang, tanggal 14 November 2019 juga. Maka kapan PEMOHON menjadi saksi dalam perkara ini dan apakah mungkin hanya kurun waktu beberapa menit saja penyidik bisa menemukan dua alat bukti dalam perkara ini?;
10. Bahwa perlu kami sampaikan pada majelis Hakim yang mulia, bahwa jarak antara Rumah PEMOHON, rumah tempat tinggal PELAPOR/SAKSI KORBAN (yang melaporkan) dengan POLSEK Wonosari, kira-kira sekitar 40 km dengan kondisi jalan berbatu dan rusak. Jika dibuhungkan dengan laporan polisi, penyidikan dan penangkapan yang dilakukan TERMOHON terhadap diri PEMOHON, maka jelas dan nyatalah bahwa tindakan penangkapan pada hari kamis siang tersebut adalah tindakan tidak masuk  akal dan sangat mengada-ngada;
11. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa  “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP;
12. Bahwa PEMOHON seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi barulah setelahnya diperiksa kembali sebagai tersangka;
13. Bahwa pada kenyataannya PEMOHON hanya diperiksa satu kali saja pada pukul 03.00 dini hari, hari jumat, tanggal 15 November 2019;
14. Bahwa ternyata selain PEMOHON, ada orang lain yang ditangkap untuk Laporan Polisi pada kamis tengah malam, yang bernama HARUN LAIYA yang adalah merupakan AYAH TIRI dari korban;
15. Bahwa timbul pertanyaan besar setelah ditangkapnya pelaku atas nama HARUN LAIYA, mengapa PEMOHON masih tetap dipersangkakan untuk perkara tersebut;  
16. Bahwa terkait dengan hal tersebut, apabila mencermati secara saksama mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh TERMOHON, yang menurut PEMOHON tidak sesuai dengan aturan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya diatas, telah cukup membuktikan, bahwa status tersangka atas diri PEMOHON dipaksakan, karena tidak melalui prosedur-prosedur yang telah  ditentukan, sehingga status tersangka atas diri PEMOHON adalah Tidak Sah; 
 
PETITUM
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka kami Penasehat Hukum PEMOHON mengetuk pintu Hati Nurani yang mulia Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta kiranya segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap TERMOHON tersebut sesuai dengan hak-hak PEMOHON sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015 serta mohon kepada yang mulia Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta Cq. Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan menetapkan sebagai berikut :
1. Menerima Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penangkapan yang dilakukan oleh TERMOHON pada hari kamis, tanggal 14 November 2019 sekitar pukul 12.00 siang, terhadap diri  PEMOHON adalah TIDAK SAH;
3. Menyatakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TERMOHON untuk mendapatkan pengakuan TERMOHON adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
4. Menyatakan bahwa BAP PEMOHON dari hasil tindakan kekerasan yang dilakukan TERMOHON adalah TIDAK SAH dan Batal Demi Hukum;
5. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah TIDAK SAH;
6. Menyatakan bahwa Penangkapan dan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON adalah TIDAK SAH menurut hukum;
7. Memerintahkan TERMOHON dan/atau PENUNTUT UMUM untuk menghentikan PENUNTUTAN terhadap diri PEMOHON;
8. Menyatakan penahanan atas diri PEMOHON adalah TIDAK SAH menurut hukum;
9. Memerintahkan kepada TERMOHON dan/atau PENUNTUT UMUM untuk mengeluarkan PEMOHON dari tahanan Negara (tahanan LAPAS Tilamuta);
 
ATAU, 
Apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
 
Hormat kami,
KUASA HUKUM PEMOHON
 
 
MUH. SYARIF LAMANASA, SH., MH. ISHAK SUKO, S
Pihak Dipublikasikan Ya