INFORMASI DETAIL PERKARA
Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
6/Pid.Pra/2020/PN Tmt | Risang Septian Putranto, SE | Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Kamis, 27 Agu. 2020 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 6/Pid.Pra/2020/PN Tmt | ||||
Tanggal Surat | Kamis, 27 Agu. 2020 | ||||
Nomor Surat | 6/Pid.Pra/2020/PN Tmt | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Perihal: Permohonan Peraperadilan
Kepada Yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta
Jl. Ahmad Yani, Tilamuta, Kab. Boalemo
Dengan hormat.
Yang bertandatangan di bawah ini:
Adv. Suslianto, S.H.,M.H
Adv. Rickiyanto J. Monintja, S.H
Adv. Yusri Ibrahim, S.H
Adv. Febriyan Potale, S.H
Advokat dan Konsultan Hukum yang berkantor pada Concessa Law Firm,
berlamat di Jalan Manggis, Nomor 08, Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota
Selatan, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, nomor handphone:
082349625224/081223332784, email: suslianto51@gmail.com, yang
bertindak baik secara bersama-sama maupun masing-masing/sendiri-
sendiri, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21 Agustus 2020 yang
telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tilamuta
( terlampir) baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak
untuk dan atas nama:
Nama : Risang Septian Putranto, S.E
Umur : 29 Tahun
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat : Perum Graha Tenggela Indah Blok A-1 No. 1. Desa
Tenggela Kec. Tilango, Kab. Gorontalo
Dalam hal ini memilih domisili hukum pada alamat kuasanya tersebut di
atas. Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ;
Dengan ini PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 14, Pasal 17, Pasal 184 KUHAP dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, atas penetapan tersangka terhadap PEMOHON dalam dugaan
tindak pidana pemalsuan surat/dokumen sebagaimana dimaksud dalam
rumusan Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP yang dilakukan oleh:
Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepolisian Daerah Gorontalo Cq. Kepolisian Resor Boalemo (Polres Boalemo) untuk selanjutnya disebut
sebagai TERMOHON;
Adapun alasan PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan adalah sebagai berikut:
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN:
1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, pemyitaan, penahanan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan perundang-undangan, pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran hak asasi manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak dipengaruhi dan mengandung semangat serta merujuk pada hukum internasional yang menjelma dalam
international customary law . Oleh sebab itu, praperadilan menjadi
satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut.
2. Bahwa sebagai rechtstaat yang menjunjung tinggi nilai dan penegakan hak asasi manusia, Republik Indonesia telah
meratifikasi International Covenant on Civil and Pilitcal Rights
(ICCPR) yang penuh dengan ketentuan menyangkut perlindungan hak asasi manusia;
3. Bahwa terlahirnya lembaga praperadilan adalah karena motivasi kuat oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas
Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak
kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang
melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formal tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formal tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
4. Bahwa praperadilan bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka dalam pemeriksaan penyidikan ditunaikan dengan baik dan benar. Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih
dan wajib mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
5. Bahwa keberadaan lembaga praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu
KUHAP pada hakikatnya dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini PEMOHON. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik
dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang
menerapkan prinsip Habeas Corpus , yang pada hakikatnya
memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang;
6. Bahwa dalam perkembangannya, pengaturan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP,
sering terjadi fenomena tidak dapat menjangkau pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dan maksimal dari negara. Untuk itu perkembangan hukum yang pesat melalui diakomodirnya mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Terhadap kaitan perubahan dan perkembangan hukum yang
kompleks di masyarakat, termasuk kecermatan atas prosedur menjadi penting untuk ditelaah. Bukanlah suatu yang mustahil berbagai hal itu terjadi dalam praktik sistem hukum yang dianut
oleh Indonesia, yakni common law system . Peristiwa ini yang
kemudian menurut Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum”
( legal breakthrough) atau hukum pro rakyat (hukum progresif) dan
menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dan sangat penting dalam memandang fungsi dan peranan hukum terhadap pemabangunan nasional di Indonesia. Sehingga, dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normative yang diukur dari
kepastinannya, melainkan juga memiliki aspek nilai ( values) yang
merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang saat ini.
7. Bahwa lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan, sebagaimana secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor. 21/PUUXII/ 2014, telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan;
8. Bahwa pengujian keabsahan penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka melalui lembaga Praperadilan, karena penetapan sebagai tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan status tersangka pada hakikatnya adalah menguji dasar-dasar dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, pada hakikatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga negara;
9. Bahwa dengan adanya penetapan status seseorang sebagai
tersangka in casu PEMOHON, yang dilakukan tidak berdasarkan
hukum atau tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang dalam hal ini PEMOHON untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan penetapan sebagai Tersangka melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak untuk menilai keabsahan penetapan sebagai tersangka ini sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
(UU HAM), yang berbunyi: “ Setiap orang, tanpa diskriminasi,
berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar ”. Hal ini
merupakan pengejawantahan dari Pasal 28D ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”;
10. Bahwa dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam
proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum;
11. Bahwa praktik hukum pada dasarnya, hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang
biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan
yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam
penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam due
process of law menguji dua hal, yaitu: (1) apakah negara telah
menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik tersangka tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur
yang ditempuh sudah sesuai dengan due process . (Rhonda
Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to
the United States Constitution , Santa Barbara: Greenwood
Publishing Group, halaman 1);
12. Bahwa sangat beralasan bilamana praperadilan yang dimohonkan PEMOHON diajukan ke hadapan hakim, sebab yang dimohonkan
oleh PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status PEMOHON yang menjadi tersangka dan akan berakibat hilangnya kebebasan PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PEMOHON di mana tindakan TERMOHON cenderung melanggar hak asasi manusia;
13. Bahwa dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, maka menjadi jelas dan
terang bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek
praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi,
“ oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum, pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan, maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah dan hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil PEMOHON mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut
hukum”; (Putusan MK hal 105-106).
II. TENTANG FAKTA HUKUM
1. Bahwa PEMOHON sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada BPN Kabupaten Boalemo;
2. Bahwa dalam rangka pengurusan kenaikan pangkat dari golongan IIIa menjadi golongan IIIb, pada medio April 2019 PEMOHON mengurus dan/atau melengkapi berkas/dokumen persyaratan kenaikan pangkat/golongan yang terdiri atas fotokopi SK Pangkat Golongan Terakhir, fotokopi Kartu Pegawai, fotokopi SKP (Sasaran Kerja Pegawai) dan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan)
2 (dua) tahun terakhir, fotokopi Berita Acara Pelantikan Jabatan Terakhir;
3. Bahwa PEMOHON membuat SKP dan DP3 periode 2017 dan 2018 dan selanjutnya diajukan untuk dikoreksi dan ditandatangani oleh
atasan, yakni kepada Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo);
4. Bahwa saat PEMOHON menghadap untuk mengajukan SKP dan DP3 pada Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan
Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo), mereka mengatakan akan menandatangani jika nilai yang ada pada SKP dan DP3 tersebut adalah 0 (nol);
5. Bahwa Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala
Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) tidak menandatangani SPK dan DP3 yang diajukan oleh PEMOHON;
6. Bahwa PEMOHON selanjutnya menyerahkan SKP dan DP3 yang tidak dan/atau tanpa ditandatangani oleh Lk. Alrianto Sara
(Kepala Seksi Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) kepada Suryadi Wuata yang saat itu menjabat sebagai Kabag TU di Kanwil BPN Provinsi Gorontalo;
7. Bahwa PEMOHON tidak mengetahui lagi tentang tanda tangan Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan Kantor
Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo);
8. Bahwa selanjutnya PEMOHON akhirnya naik pangkat dan golongan dari IIIa menjadi IIIb, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Nomor;43/SK-100.2.02/III/2019 tanggal 18 Maret 2019 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil;
9. Bahwa selanjutnya PEMOHON diadukan oleh Purnama Saboli kepada TERMOHON dengan tuduhan dugaan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP dalam Laporan Polisi Nomor: LP/110/IX/RES.1.9/2019/SPKT/Res – Blmo, tanggal 10 September 2019;
10. Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/141/IX/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 18 September 2019;
11. Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/67/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 4 November 2019;
12. Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor:
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019;
13. Bahwa TERMOHON melakukan penyitaan barang/benda PEMOHON. Barang/benda tersebut adalah:
- 1 (satu) buah laptop Lenovo 12 inci type 2522-22U S/N R8-
C3HKA 11/05 Product ID: 2522222U berwarna hitam;
- 1 (satu) buah charging/adaptor laptop Lenovo 12 inci type
2522-22U S/N R8-C3HKA 11/05 Product ID: 2522222U berwarna hitam, dengan adanya Surat Tanda Penerimaan, tertanggal 6 Februari 2020;
14. Bahwa TERMOHON melakukan penyitaan barang/benda PEMOHON. Barang/benda tersebut adalah:
- 1 (satu) lembar Surat Asli Petikan Surat Keputusan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No.43/SK-100.2.KP.02.02/III/2019 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Atas Nama Risang Septian Putranto, S.E, tanggal 18 Maret 2019;
- 1 (satu) lembar Surat Asli Nota Persetujuan Teknis Kepala
Badan Kepegawaian Negara Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Atas Nama Risang Septian Putranto, S.E, tanggal 19 Februari 2019, dengan adanya Surat Tanda Penerimaan, tertanggal 6 Mei 2020;
III. TENTANG ANALISIS HUKUM
1. Bahwa PEMOHON adalah subjek hukum dan warga negara yang
memiliki hak secara hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mengajukan upaya atas akses keadilan, kemanfaatn dan kepastian hukum terkait penegekan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON;
2. Bahwa penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk
melaksanakan suatu aturan, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparat penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Kelsen, 2011:89).
3. Bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON
banyak terjadi kekeliruan/kesalahan yang nyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan;
4. Bahwa sangat penting menghentikan praktik hukum yang jauh
dari terwujudnya due process dan fair procedure;
Tentang Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
5. Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat dengan Nomor:
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan;
6. Bahwa pada angka 2 (dua) Surat dengan Nomor:
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan tersebut.
Sebagaimana dikutip, “ Dengan ini diberitahukan bahwa pada hari
Kamis tanggal 31 Oktober 2019 , telah dimulainya Penyidikan
dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUH-Pidana. Yang terjadi pada bulan Juli 2019 sekitar Pukul 10.30 Wita di Desa Lamu
Kec. Tilamuta Kab. Boalemo.”
7. Bahwa pada Rujukan huruf (d) Surat dengan Nomor:
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan tersebut.
Sebagaimana dikutip, “Surat Perintah Penyidikan Nomor :
SP.Sidik/67/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, Tanggal 04 November
2019 .”
8. Bahwa mencermati uraian poin (6) dan poin (7) di atas, maka
penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak berdasarkan
surat perintah penyidikan, atau dengan kata lain surat perintah
penyidikan terbit setelah penyidikan telah dimulai atau dilaksanakan;
9. Bahwa sesuai dengan Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
Tentang Penyidikan Tindak Pidana, “Penyidikan dilakukan
dengan dasar : a. Laporan Polisi; dan b. Surat Perintah
Penyidikan.
10. Bahwa sesuai dengan Pasal 13 Ayat (2) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
Tentang Penyidikan Tindak Pidana, “ Surat Perintah Penyidikan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b, paling sedikit
memuat: a. dasar penyidikan; b. identitas tim penyidik; c. perkara
yang dilakukan penyidikan; d. waktu dimulainya penyidikan ;
dan e. identitas Penyidik selaku pejabat pemberi perintah.”
11. Bahwa merujuk pada uraian di atas, menunjukkan tindakan
TERMOHON tidak sesuai atau tidak berdasarkan hukum, sehingga patut dinyatakan tindakan penyidikan yang dilakukan
oleh TERMOHON adalah tidak sah;
12. Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor: B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo dan bukan ditujukan kepada PEMOHON, sebab dalam SPDP tersebut TERMOHON hanya mencamtumkan “tembusan” kepada pelapor/keluarga serta terlapor/keluarga;
13. Bahwa sewajibnya TERMOHON memberikan SPDP kepada
PEMOHON;
14. Bahwa perihal SPDP tidak hanya menimbulkan ketidakpastian
hukum, akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor
dan korban/pelapor, sebagaimana Mahkamah Konstitusi
menyatakannya dalam Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015,
bahwa “ pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa
penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan
korban/pelapor.”
15. Bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi,
dan wewenang di bidang penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan. Sehingga terbitlah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana sebagai manifestasi Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015;
16. Bahwa pada Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan
Tindak Pidana dijelaskan “ SPDP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.”
17. Bahwa baik dalam Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, SPDP wajib diberikan oleh penyidik kepada terlapor dan pelapor/korban;
18. Bahwa mencermati SPDP yang dikirimkan/diberikan oleh
TERMOHON kepada PEMOHON sebagai terlapor, nyata tidak sesuai dengan ketentuan hukum yakni Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, sebab SPDP hanya ditujukan kepada jaksa
penuntut umum melalui Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo, sebagaimana fakta SPDP ditujukan;
19. Bahwa ketentuan dalam 2 (dua) produk hukum di atas, sama
sekali tidak menyebutkan bahwa SPDP diberikan/dikirimkan kepada terlapor dan pelapor/korban dengan format/bentuk tembusan;
20. Bahwa mengingat SPDP yang administratif dan merupakan bagian
penting dari ketertiban administrasi perkara, seharusnya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang ada demi penyempurnaan administrasi yustisial yang di dalamnya terkandung hak konstitusional warga negara;
21. Bahwa dalam SPDP, PEMOHON sebagai terlapor hanya “sekadar
tembusan” yang sama sekali tidak berdasar pada ketentuan perundang-undangan;
22. Bahwa wajibnya SPDP diberikan/dikirimkan atau ditujukan
masing-masing/sendiri-sendiri kepada jaksa penuntut umum, terlapor, dan pelapor/korban. Mengingat, jaksa penuntut umum, terlapor dan pelapor/korban adalah subjek atau pihak yang berbeda, serta yang paling penting dipahami adalah terlapor dan pelapor/korban memiliki hak konstitusional yang dilindungi dan wajib dipenuhi oleh negara, sebagaimana pernyataan dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
23. Bahwa PEMOHON berhak mendapatkan SPDP yang eksplisit
ditujukan khusus kepada pribadi/atas nama PEMOHON bukan dengan format atau bentuk tembusan;
24. Bahwa TERMOHON tidak memberikan SPDP kepada PEMOHON
sebagaimana kewajiban normatif yang harus/mesti/wajib dilaksanakan oleh TERMOHON;
25. Bahwa PEMOHON tidak mendapatkan SPDP dari TERMOHON
sebagaimana hak konstitusional yang dimiliki oleh PEMOHON;
Tentang Penggeledahan
26. Bahwa melalui Putusan MK RI Nomor 21/PUU-XII/2014,
Mahkamah Konstitusi menyatakan, “ Pasal 77 huruf a Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;”
27. Bahwa objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh
Pasal 77 KUHAP yaitu: “a) sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan” . Tetapi juga termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan;
28. Bahwa Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.”
29. Bahwa pada:
- Pasal 32 KUHAP, “ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik
dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.”
- Pasal 33 Ayat (1) KUHAP, “ Dengan surat izin ketua pengadilan
negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.”
- Pasal 33 Ayat (2) KUHAP, “ Dalam hal yang diperlukan atas
perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.”
- Pasal 33 Ayat (5) KUHAP, “Dalam waktu dua hari setelah
memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.”
- Pasal 34 Ayat (1) KUHAP, Dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di
tempat penginapan dan tempat umum lainnya.”
- Pasal 34 Ayat (2) KUHAP, “ Dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”
- Pasal 126 Ayat (1) KUHAP, “ Penyidik membuat berita acara
tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).”
- Pasal 126 Ayat (2) KUHAP, “ Penyidik membacakan lebih dahulu
berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala
desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.”
30. Bahwa penggeledahan yang termasuk dalam upaya paksa, diatur
dengan jelas dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang
Penyidikan Tindak Pidana, “Penggeledahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dengan dilengkapi dengan: a. surat
perintah penggeledahan ; dan b. surat izin penggeledahan dari
pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.”
31. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penggeledahan atas
PEMOHON tidak dilengkapi dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat;
32. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penggeledahan atas
PEMOHON membuat berita acara dan tidak memberikan turunan berita acara kepada PEMOHON sebagai pemilik rumah atau penghuni rumah yang bersangkutan;
33. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penggeledahan atas
PEMOHON tidak dilengkapi surat perintah penggeledahan, melainkan hanya ucapan lisan bahwa penggeledahan adalah perintah dari Kasat Reskrim;
34. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penggeledahan, tidak
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana;
35. Bahwa penggeledahan TERMOHON tidak sah;
Tentang Penyitaan
36. Bahwa penyitaan menjadi suatu objek praperadilan dengan
merujuk pada pendapat Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan penggeledahan dan penyitaan termasuk dalam ruang lingkup praperadilan sebab bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan penuntut umum.
37. Bahwa pada Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP:
- Ayat (1) “ Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”
- Ayat (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya.”
38. Bahwa terkait penyitaan, perlindungan yang diberikan oleh
hukum acara pidana termasuk dari tindakan pencarian bukti
kesalahan yang tidak masuk akal dan menjurus pada unfair
prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar
hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak
berdasar atas hukum (unlawful legal evidence);
39. Bahwa berdasarkan Pasal 129 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP:
- Ayat (1) “Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita
kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada
keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua
Iingkungan dengan dua orang saksi.”
- Ayat (2) “Penyidik membuat berita acara penyitaan yang
dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.”
40. Bahwa sesuai ketentuan yang jelas dalam Pasal 21 Ayat (2)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana,
“Penyidik/Penyidik Pembantu yang melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan: a. surat perintah penyitaan; dan b. surat izin penyitaan dari ketua
pengadilan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.”
41. Bahwa sesuai ketentuan yang jelas dalam Pasal 21 Ayat (4)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, “Penyitaan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan.”
42. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan, tidak memiliki
surat izin ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP dan tidak memiliki persetujuan ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Ayat (2) KUHAP;
43. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan juga tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) dan Pasal 21 Ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana’
44. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan tidak membuat
berita acara penyitaan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 129
Ayat (2) KUHAP;
45. Bahwa TERMOHON hanya menerbitkan Surat Tanda Penerimaan
yang ditanda tangani oleh PEMOHON dalam melakukan penyitaan, yang masing-masing tertanggal 6 Februari 2020 dan 6 Maret 2020;
46. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah
Tentang Penetapan Tersangka
47. Bahwa penetapan tersangka adalah perampasan hak asasi
manusia;
48. Bahwa penetapan status tersangka kepada seseorang sangat erat
kaitannya dengan kelayakan dan ketenteraman hak konstitusional, hak hidup yang nyaman, karena bagaimanapun juga tekanan psikologis status tersangka dapat mempengaruhi pola perikehidupan seseorang;
49. Bahwa selanjutnya sesuai dengan pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 65/PUU-IX/2011, tanggal 1 Mei
2012 yang antara lain menyatakan, “Bahwa pada dasarrnya
setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan, yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga dengan adanya praperadilan diharapkan pemeriksaan perkara pidadn dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Pengawasan oleh pengadilan negeri sebagai badan peradilan tingkat pertama dimaksudkan untuk mengontrol, menilai, menguji, dan mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa oleh penyelidik/penyidik atau penuntut umum telah sesuai dengan
KUHAP,” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011,
bertanggal 1 Mei 2012, halaman 28);
50. Bahwa penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang
akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka. Sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan secara acak, karena penetapan tersangka secara acak dan tidak sesuai ketentuan hukum akan sangat merugikan orang atau individu sebagai subjek hukum;
51. Bahwa sebagaimana dipahami, hukum acara pidana adalah
hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakan hukum dan melindungi hak-hak indvidu selama proses hukum berlangsung;
52. Bahwa proses penetapan seseorang sebagai tersangka adalah
suatu penilaian yuridis yang mengacu pada ketentuan hukum
yang ada;
53. Bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka berdasarkan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti;
54. Bahwa perlu dipertanyakan terkait alat bukti yang digunakan oleh
TERMOHON dalam menetapkan status tersangka terhadap PEMOHON;
55. Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON
melalui Surat Pemberitahuan Peralihan Status Nomor: B/51.a/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020, tanpa adanya Surat Penetapan Tersangka;
56. Bahwa Surat Pemberitahuan Peralihan Status yang diterbitkan
oleh TERMOHON berdasarkan pada Surat Ketetapan Peralihan Status Nomor: S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020;
57. Bahwa Surat Ketetapan Peralihan Status Nomor:
S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim tidak pernah diberikan oleh TERMOHON kepada PEMOHON, di mana surat ketetapan itu merupakan bagian yang utuh dari hak PEMOHON untuk mengetahui status hukumnya dan hal ini sungguh penting dari segi kepastian hukum;
58. Bahwa Surat Ketetapan Peralihan Status dan Surat
Pemberitahuan Peralihan Status yang diterbitkan oleh TERMOHON sangat ambigu/kabur/tidak jelas/tidak berdasar;
59. Bahwa dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana
tidak mengatur tentang peralihan status melainkan tentang penetapan tersangka yang tentu idealnya diwujudkan dalam bentuk surat penetapan tersangka yang di dalamnya akan terkait dengan peralihan status, sehingga proses hukum PEMOHON akan jelas dan kepastian hukum tidak ambigu/kabur/tidak jelas;
IV. KESIMPULAN
1. Oleh karena pertimbangan dasar hukum, fakta hukum dan
analisis hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka tindakan-tindakan TERMOHON diduga kuat dan/atau secara nyata telah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
2. Bahwa permohonan praperadilan ini diajukan demi keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi PEMOHON, sebab hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak ada
lagi yang dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi
jus incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, di situ
tidak ada hukum).
3. Bahwa segala tindakan TERMOHON dan akibatnya sangat
merugikan PEMOHON sebagai subjek hukum dan warga negara Republik Indonesia;
4. Berdasarkan pada hal-hal yang tersebut/diuraikan di atas,
terhadap Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta agar kiranya dapat menerima permohonan ini dan menggelar sidang praperadilan serta kepada Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta Cq. hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan sebagai berikut:
..............................................MENGADILI...........................................
a. Menerima seluruh permohonan PEMOHON;
b. Memutuskan/menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh
TERMOHON sesuai surat Nomor: S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020, tidak sah dan tidak berdasarkan hukum;
c. Memerintahkan TERMOHON mencabut status tersangka
terhadap PEMOHON;
d. Memerintahkan penghentian penyidikan perkara atau
mengeluarkan SP3;
e. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan,
dan harkat serta martabat;
f. Apabila hakim berpendapat lain, dimohonkan kiranya agar
memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
Demikian permohonan praperadilan ini disampaikan, besar harapan dan cita-cita PEMOHON untuk dapat dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta Cq. Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang praperadilan sebagaimana dalil dan petitum dalam permohonan ini. |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |