Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2020/PN Tmt Danar Bata, S. Tp Kejaksaan Negeri Boalemo Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 04 Mar. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Tanggal Surat Rabu, 04 Mar. 2020
Nomor Surat 3/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Pemohon
NoNama
1Danar Bata, S. Tp
Termohon
NoNama
1Kejaksaan Negeri Boalemo
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Tilamuta, 04 Maret 2020
Perihal    :  Permohonan Praperadilan atas Nama Pemohon 
       DANAR BATA, S.TP
 
Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
Jalan Trans Sulawesi Desa Lamu
Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo
di-
TILAMUTA
 
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
TITO SEPRIADI, SH
ADE INDRA, SH
Semuanya adalah Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum pada TITO SEPRIADI, SH & PARTNERS yang beralamat di Desa Piloliyanga, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 Februari 2020, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama DANAR BATA, STP. Selanjutnya disebut sebagai --------------------  PEMOHON
——————————– M E L A W A N ——————————–
KEJAKSAAN NEGERI BOALEMO yang beralamat di Desa Modelomo, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Gorontalo.
Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------------------------  TERMOHON
Untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai Tersangka dalam Dugaan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Psal 3 Jo. Pasal18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau kedua: pasal 12 huruf e Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (Hukum Progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
• Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011.
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012.
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015.
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015.
6. Dan lain sebagainya.
e. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
 
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
f. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
• FAKTA – FAKTA
 
1. Bahwa Pemohon adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Boalemo dan saat ini Pemohon menjabat sebagai Kepala Seksi Pembiayaan Dan Investasi tahun 2018, dan saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Produksi TPH (Tanaman Pangan Dan Hortikultur) tahun 2020 Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo sejak tahun 2017;
2. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan ketersediaan Pangan di wilayah Kabupaten Boalemo dalam rangka kecukupan pangan Nasional maka Pemerintah Pusat melaksanakan Program Kegiatan Alokasi Khusus (DAK) sehingga Pemerintah Kabupaten Boalemo melalui Dinas Perikanan menerima Bantuan Swakelola Kegiatan Dana Alokasi Khusus Program Penyediaan Sarana Produksi Pertanian/Perkebunan Tahun Anggaran 2018 sebagaimana Surat Keputusan Bupati Nomor : 242 Tahun Anggaran 2018 tertanggal 23 Mei 2018;
3. Bahwa sebagaimana Peraturan menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 10.1/PERMENTAN/RC.120/3/2018 Tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Pertanian penggunaan DAK Fisik Bidang Pertanian untuk kegiatan pembangunan pertanian daerah Kabupaten/Kota yakni Pembangunan atau Perbaikan Sumber Air meliputi Irigasi Air Tanah Dangkal atau Air Tanah Dalam, Embung, Dam Parit, Long Storage, dan Pintu Air;
4. Bahwa kegiatan pembangunan pertanian daerah kabupaten/kota yang diabiayai oleh DAK Fisik Bidang Pertanian dilaksanakan melalui Swakelola Padat Karya (Cash for Work) dimana pengadaan barang dan jasa yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi oleh kelompok masyarakat. Sebagaimana Lampiran dalam Keputusan Bupati Boalemo Program Penyediaan Sarana Pertanian/Perkebunan Kabupaten Boalemo meliputi Pembangunan Embung, Pembangunan Dam Parit, dan Pembangunan Irigasi Air Tanah Dangkal yang dikerjakan oleh oleh kelompok tani dengan anggaran senilai Rp. 2.570.000.000 (Dua Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Juta Rupiah);
5. Bahwa pencairan dana DAK Fisik Bidang Pertanian kepada pelaksana Swakelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mekanisme penyaluran dilakukan langsung ke rekening pelaksana Swakelola. Mekanisme penyaluran dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan yaitu Turmin I sebanyak 40% (empat puluh persen), Turmin II sebanyak 30% (tiga puluh persen) jika kemajuan fisik mencapai 30% , dan Turmin III sebanyak 30% (tiga puluh persen) jika kemajuan  fisik mencapai 60%;
6. Bahwa  pekerjaan Pembangunan Irigasi Air Tanah Dangkal, Embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo tersebut selesai pada tahun 2019;
7. Bahwa kemudian pada tanggal 27 februari 2020 Pemohon langsung mendapatkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : B-205/P.5.12/FD.2/02/2020 dari Kejaksaan Negeri Tilamuta sebagai Tersangka dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pembangunan Irigasi Air Tahan Dangkal, embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo Tahun Anggaran 2018 dengan Sangkaan Pertama : Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana, Kedua : Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana;
 
• TENTANG HUKUMNYA
 
A. PEMOHON TIDAK PERNAH MENERIMA SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
Bahwa Surat Penetapan Tersangka Nomor : B-205/P.5.12/FD.2/02/2020 dari Kejaksaan Negeri Tilamuta tertanggal 27 Februari 2020 yang ditujukan kepada Pemohon diterbitkan berdasarkan pada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo tertanggal 18 November 2019. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 130/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 Janurai 2017 menyatakan Penyidik paling lambat dalam 7 (tujuh) hari wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/SPDP kepada Pelapor dan Terlapor. Termohon menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor : Print – 454/P.5.12/F1.1/10/2019 tertanggal 16 Oktober 2019 dan kemudian menerbitkan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 18 November 2019 akan tetapi hingga Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka tertanggal 27 Februari 2020 tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/SPDP dari Termohon. Artinya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/SPDP yang tidak diberitahukan Termohon kepada Pemohon maka  Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Termohon yang secara formil tidak prosedural maka proses penyidikan harus BATAL DEMI HUKUM;
 
B. ALAT BUKTI YANG DIGUNAKAN OLEH KEJAKSAAN PADA TAHAPAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN UNTUK MENETAPKAN STATUS TERSANGKA TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
 
1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam Dugaan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Psal 3 Jo. Pasal18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau kedua: pasal 12 huruf e Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Saksi, dan dokumen yang telah disita, hal ini berdasar pada Surat Panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor : B-208/P.5.12/FD.2/2020;
2. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;
3. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Psal 3 Jo. Pasal18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau kedua: pasal 12 huruf e Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon belum menyatakan adanya 2 alat bukti permulaan untuk menetapka Pemohon sebagai Tersangka;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Pra Perdilan menyatakan “Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara”;
5. Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon tidak memenuhi aspek formil atau dengan kata lain dilakukan tidak sesuai dengan Prosedur, hal ini terbukti dari sejak ditetapkan Surat Perintah Penyidikan tanggal 18 November 2019 sampai dengan saat ini Pemohon tidak pernah diberikan SPDP dari Penyidik. Padahal hal ini diwajibkan sesuai dengan :
a. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang menyatakan : “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”
b. Petunjuk Teknis sesuai Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 4 Mei 2018 tentang Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Berkualitas menyebutkan pada Poin 1 huruf a sub 5 : “Setelah surat perintah penyidikan diterbitkan, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, penyidik paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/SPDP (Pidsus-12) kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Pelapor serta mengirimkan Pemberitahuan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi (Pidsus-13) kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 109 KUHAP)”;
6. Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon tidak memenuhi aspek formil atau dengan kata lain dilakukan tidak sesuai dengan Prosedur, hal ini terbukti Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan Para Tersangka Nomor B-205/P.5.12/Fd.2/02/2020 tanggal 27 Februari 2020 dari Kejaksaan Negeri Boalemo, pada konsideran menimbang huruf b menyatakan  : “Bahwa telah diperoleh bukti permulaan yang cukup guna menentukan tersangka dalam penyidikan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pembangunan Irigasi Air Tanah Dangkal, Embung, Dam Parit / Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo Tahun 2018”. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang mengatur bahwa penetapan tersangka minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam :
a. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 21/PUU- XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menyatakan “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana” 
b. Petunjuk Teknis sesuai Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 4 Mei 2018 tentang Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Berkualitas menyebutkan pada Poin 1 huruf d sub 1 : “Penetapan tersangka merupakan objek Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 21/PUU- XII/2014 tanggal 28 April 2015, oleh karena itu agar penetapan tersangka dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan syarat formil dan materiil, serta kecukupan alat bukti yaitu minimal adanya 2 (dua) alat bukti dan Calon Tersangka terlebih dahulu wajib diperiksa sebagai saksi, kecuali apabila calon tersangka tersebut telah dipanggil secara patut sesuai Pasal 227 KUHAP tidak memenuhi panggilan”. 
c. PERMA Nomor 4 Tahun 2016 melalui Pasal 2 ayat 2 menyatakan :
“Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah” 
7. Bahwa dalam perkara aquo, penyidik tidak bisa menentukan mana minimal 2 alat bukti yang dijadikan dasar penyidik untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Sebagaimana Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tenetang Hukum Acara Pidana menyebutkan Alat Bukti yang Sah ialah :
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
8. Bahwa Pemohon dijadikan Tersangka oleh Termohon dengan sangkaan Pasal Pertama : Primair Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, Subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, Kedua : Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9. Bahwa dua alat bukti yang berhubungan dengan dugaan tindak pidana yang disangkakan dilakukan oleh Pemohon sehubungan dengan Pasal yang disangkakan yakni Pasal 2 ayat 1, Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Termohon tidak jelas. Bahkan dari pasal ini Termohon tidak dapat menunjukkan mana perhitungan kerugian keuangan negara yang dikeluarkan oleh BPK terkait Pekerjaan Pembangunan Irigasi Air Tanah Dangkal, Embung, Dam Parit / Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten BoalemoTahun 2018;
10. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. 
C. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang esensi baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
- ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
- dibuat sesuai prosedur; dan
- substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
• “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
• Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Tilamuta yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tilamuta yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Psal 3 Jo. Pasal18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau kedua: pasal 12 huruf e Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : 501/P.5.12/Fd.2/11/2019 tertanggal 18 November 2019 tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pembangunan Irigasi Air Tahan Dangkal, Embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo Tahun Anggaran 2018 dinyatakan Tidak Sah; 
4. Menyatakan Surat Penetapan ParaTersangka Nomor : B-205/P.5.12/FD.2/02/2020 Tertanggal 27 Februari 2020 atas nama Tersangka DANAR BATA,S.TP dinyatakan tidak sah;
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
6. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tilamuta yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tilamuta yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Kami
Kuasa Hukum Pemohon
KANTOR HUKUM TITO SEPRIADI & REKAN
 
 
TITO SEPRIADI, SH
 
 
ADE INDRA, SH
Pihak Dipublikasikan Ya