Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2022/PN Tmt Edris Husuri, S. IP Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo,Cq Kasat Lantas Polres Boalemo Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 19 Mei 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2022/PN Tmt
Tanggal Surat Kamis, 19 Mei 2022
Nomor Surat 4/Pid.Pra/2022/PN Tmt
Pemohon
NoNama
1Edris Husuri, S. IP
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo,Cq Kasat Lantas Polres Boalemo
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Boalemo, 19 Mei 2022
 
Kepada Yth,
KETUA PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
Di –
TILAMUTA
 
Perihal :
PERMOHONAN PRAPERADILAN TERKAIT SAH TIDAKNYA PENYITAAN
 
 
 
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Irman Ukali, SH
Adalah Advokat/Penasehat Hukum pada kantor Advokat dan Legal Consultant Adv. Irman Ukali, SH & Partners, beralamat di Jalan A. Wahab, Kelurahan Kayubulan, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Tertanggal 18 Mei Tahun 2022, betindak untuk dan atas nama pemberi kuasa :
EDRIS HUSURI, Umur 31 tahun, Tempat tanggal lahir Paguyaman 20 Februari 1991, Agama Islam, Pekerjaan swasta, Status belum Kawin, Alamat Desa Bongo Nol, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Kewarganegaraan Indonesia, selanjutnya disebut sebagai  PEMOHON
 
Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:
 
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) Cq Kepala Kepolisain Daerah Gorontalo (POLDA), Cq Kepala Kepolisan Resor Boalemo, Cq Kepala Satuan Lalu lintas Polres Boalemo, Beralamat di kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.
 
Dasar hukum permohonan praperadilan
Perlu dipahami, bahwa lahirnya lembaga praperadilan ini terinspirasi karena prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak habeas corpus dalam sistem peradilan anglo saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas corpus act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.
Keberadaan lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam bab X bagian kesatu KUHAP dan bab XII bagian kesatu KUHAP  secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol dan pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic penyelidik/penyidik dan penuntut umum) sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud ataupun tujuan lain diluar dari yang ditentukan sebagaimana dimaksud di dalam KUHAP. , guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi terhadap seseorang dalam hal ini adalah pemohon. 
Menurut LUHUT M. PANGRIBUAN lembaga praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di amerika serikat yang menerapkan prinsip habeas corpus yang mana pada dasarnya di dalam masyarakat beradab pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan apakah tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak?.
Apabila kita melihat pendapat dari S TANUSUBROTO, yang menyatakan bahwa lembaga praperadilan sebenarnya memberikan peringatan ;
1) Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan harus didasarkan pada ketentuan yang berlaku, dengan kata lain penegak hukum tersebut harus mampu menahan diri dan menjauhkan diri untuk melakukan tindakan sewenang-wenang pada seseorang.
2) Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan tanpa didasari dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
3) Hakim dalam menentukan ganti rugi harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksakan putusan hukum itu.
4) Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
5) Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus di imbangi dengan intergritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya hanya akan sia – sia belaka.
Selain itu menurut INDRIYANTI SENO ADJI  bahwa KUHAP telah menerapkan lembaga praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian maupun kejaksaan (termasuk termohon itu sendiri) yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (in casu pemohon).
Bahwa apa yang diuraikan di atas yaitu lembaga praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan hak asasi manusia, telah dituangkan secara tegas konsiderans menimbang huruf (a) dan huruf (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi ruh atau jiwanya KUHAP yang berbunyi ;
a) “ bahwa negara indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum itu tanpa ada kecualinya”. 
c) “ bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibanya untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum berdasarkan UUD 1945 ”.  
Tujuan dan Wewenang Praperadilan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahanan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56).
Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.” Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.” KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3) mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:
a. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka.Maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.” Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupan tindakan yang bertentangan dengan hukum. 
Maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi.Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan 
“ lembaga peradilan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.”
Dalam KUHAP penerapan upaya paksa, yang menimbulkan permasalahan hukum dan multipersepsi dalam penerapan diantaranya:
a. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan yang undue process atau (eror in persona).
b. Sedangkan tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada dalam luar yurisdiksi praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:
1. Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP).
2. Dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2 KUHAP) (Harahap, 2002b: 7)
Bahwa sejalan dengan itu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan pada tanggal 28 April 2015 dengan nomor putusan Yudisial Review Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015; tentang wewenang Praperadilan yang di perluas dalam hal penetapan Tersangka harus mempunyai 2 (dua) alat bukti yang cukup dan begitu pula dengan penetapan tersangka, penggeledahan dan, penyitaan.
 
 
Permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan , selain dari pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan ( pasal 77 KUHAP) juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP dengan menyebutkan bahwa : 
“ tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau karena penerapan hukumnya ”.  
Dengan kata lain pasal 95 ayat 1 pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum, dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar hak asasi in casu pemohon. Oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh termohon menjadi objek permohonan praperadilan.
Mendasari substansi pada penjelasan/uraian diatas maka pemohon menjelaskan sebagai berikut ;
a) Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang penyidik maupun penuntut umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun penetapan tersangka.
b) Penetapan serta penahanan seseorang sebagai  tersangka, khususnya dalam perkara ini lebih khususnya prosesnya dilakukan oleh termohon akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun martabat seseorang in casu pemohon.
c) Bahwa dengan ditetapkanya penahanan  seseorang in casu pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik seseorang in casu pemohon telah dirampas.
d) Bahwa akibat tindakan hukum yang dilakukan oleh termohon secara sewenang-wenang kepada pemohon telah mengakibatkan kerugian moril ataupun materil.
Apabila dalam hukum acara pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, maka hal tersebut tidak berarti kesalahan termohon tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini adalah lembaga praperadilan, yang di bentuk untuk melindungi hak asasi seseorang dari kesalahan/ kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini adalah termohon. Tentunya hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan bahwa karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh perundang-undangan. Dalam hal ini peranan hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya. Hal ini di amanatkan dalam pasal 10 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No.48 tahun 2009  tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10 ayat 1  
“ pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.
Pasal 5 ayat 1
“ hakim dan hakim konstitusi wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ”.  
Dalam praktek peradilan hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum antara lain penyitaan dan penetapan tersangka telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan praperadilan. Sebagai contoh putusan praperadilan Pengadilan Negeri bengkayang no.1/pid.prap/Pn.Bky tanggal 8 mei 2011 Jo putusan mahkamah agung No.88 PK/pid/2011 tanggal 12 januari 2012 yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah tidaknya penetapan tersangka Pengadilan Negeri jakarta selatan dalam perkara praperadilan dengan No.38/pid.prap/2012/Pn.jkt-sel telah menerima dan mengabulkan dengan menyatakan “tidak sah menurut hukum tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka”.
Penetapan status seseorang sebagai tersangka in casu pemohon yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi atau pengujian terhadap keabsahan melaui lembaga praperadilan, hal ini dijamin dalam pasal 17 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi ;
“setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Hal yang sama juga dituangkan dalam pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 dimana “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum dan persamaan kedudukan dihadapan hukum”.
DALAM POSITA
ADAPUN HAL-HAL YANG MENJADI DASAR/ ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN PEMOHON ADALAH  SEBAGAI  BERIKUT :
 
Fakta-fakta peristiwa Hukum
 
1. Bahwa permohonan Pra Peradilan ini didasarkan Pada Pasal 77 s/d Pasal 81 KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 dan Bab II pasal 2 PERMA No.4 tahun 2016 ;
2. Bahwa pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2022 bertempat di Hungayonaa, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo Termohon Satuan Lalu Lintas Polres Boalemo melalui beberapa anggotanya melakukan penyitaan terhadap satu buah unit sepeda motor milik Pemohon dengan spesifiasi kendaraan roda dua yakni Merk Honda Tipe D1B02N26L2 A/T, warna hitam, Nomor Rangka MH1JFZ128JK635393, Nomor Mesin JFZ1E-2639130  DM 2775 CN atas nama STNK Abdurahman Akasih.
3. Bahwa perlu pemohon jelaskan bahwa sepeda motor milik pemohon dengan spesifikasi telah disebutkan diatas, pada hari rabu pagi dipinjam oleh saudara/kerabat pemohon bernama (Ngato) untuk berpergian pada saat itu sepeda motor milik pemohon dikendarai oleh sdra Ngato sedangkan sepeda motor milik sdr. Ngato dikendarai oleh seorang rekannya bernama Danial mereka pergi secara berbarengan menuju ke arah Tilamuta,   tepat di Jln Trans Sulawesi Desa Hungayonaa mereka berpapasan/bertemu dengan beberapa Anggota Satlantas Polres Boalemo. Entah apa alasannya tiba-tiba Sdra Ngato mengambil sepeda motor miliknya yang dikendarai oleh rekannya Sdr. Danial sedangkan sepeda motor milik Pemohon ditinggalkan kepada rekannya (Danial), kemudian sepeda motor milik Pemohon tersebut disita oleh Anggota Satlantas Polres Boalemo Atas nama Taufik Rahman.
4. Bahwa kemudian setelah mendapat informasi bahwa Sepeda motor milik Pemohon yang dikendarai oleh kerabatnya (Ngato) disita oleh Satlantas Polres Boalemo, Pemohon pergi menemui Termohon menanyakan alasan perihal penyitaan terhadap satu unit sepeda Motor Honda beat, DM 2775 CN. Pemohon bertanya apakah Sepeda motor tersebut disita karena menjadi barang bukti Pelanggaran lalu lintas ? ternyata jawaban dari Termohon bahwa sepeda motor Motor Honda beat, DM 2775 CN tersebut bukan barang bukti Pelanggaran lalu lintas. Oleh karena sepeda motor milik pemohon tersebut bukan merupakan barang bukti/tidak ada kaitannya dengan pelanggaran lalu lintas maka Pemohon meminta secara baik-baik kepada Termohon untuk menyerahkan sepeda motor tersebut kepada Pemohon tetapi termohon menolak untuk menyerahkan sepeda motor tersebut tanpa alasan yang jelas menurut hukum. 
5. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh Termohon atas sepeda Motor Honda beat, DM 2775 CN  sangat tidak beralasan pasalnya Termohon sendiri sudah mengakui bahwa sepeda motor milik pemohon tersebut bukan merupakan barang bukti tetapi Termohon bersikeras menahan kendaraan itu dan tidak mau menyerahkan kepada Pemohon sebagai pemilik yang sah, hal ini tentunya bertentangan dengan hukum/peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sekaligus sangat merugikan Pemohon sebagai pemilik sah objek sita berupa kendaraan spesifikasi kendaraan Roda Dua  Honda beat, DM 2775 CN, warna Hitam atas nama STNK Abdurahman Akasih. 
6. Bahwa penyitaan merupakan bentuk upaya paksa  (dwang middelen) yang di atur dalam KUHAP sebagaimana Pasal 1 angka 16 pasal 38 s/d 46 KUHAP pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, sebagaimana juga dalam konteks Pra Peradilan pasal 128 s/d 130 KUHAP dan pasal 215 KUHAP yang tentunya peyitaan jika dilaksanakan dengan ketentuan ketentuan yang melanggar hukum maka akibatnya adalah pada pelanggaran hak asasi manusia sehingga dalam rumusan ketentuan pasal 38 KUHAP dikatakan bahwa “ penyitaan hanya boleh dilakukan oleh penyidik dengan ijin dari ketua pengadilan negeri setempat namun dalam keadaan mendesak penyitaaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan kepada ketua pengadilan untuk memperoleh persetujuan” . 
7. Bahwa berdasarkan posita poin 6 diatas maka penyitaan dilakukan dengan cara melawan hukum sehingga berakibat pada  tindakan yang sewenang-wenang yang sangat merugikan Pemohon terlebih lagi yang dilakukan penyitaan bukan merupakan barang bukti Pelanggaran atau tindak pidana, sehingga Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon atas satu unit Motor Honda beat, DM 2775 CN, warna hitam yang dilakukan oleh termohon merupakan tindakan atau perbuatan melawan hukum.
8. Bahwa dimana penyitaan yang dilakukan oleh Termohon terhadap objek kendaran milik pemohon spesifiasi kendaraan Roda Dua  Honda beat, DM 2775 CN atas nama STNK Abdurahman Akasih adalah perbuatan melawan hukum maka sudah sepatutnya penyitaan juga dinyatakan melawan hukum dan haruslah batal demi hukum 
9. Bahwa karena penyitaan barang bukti berupa kendaraan roda dua dengan spesifikasi kendaraan Roda Dua Honda beat, DM 2775 CN atas nama STNK Abdurahman Akasih tidak sah menurut hukum maka sudah sepatutnya barang sitaan harusalah dikembalikan kepada Pemohon tanpa syarat apapun seketika putusan di jatuhkan oleh hakim tunggal.
Berdasarkan hal hal yang diuraikan di atas, maka kami mohon kiranya Yth, Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta Cq Hakim Pra Peradilan yang ditunjuk mohon agar kiranya untuk dapat memutuskan permohonan ini dengan amar putusan sebagai berikut ;
Dalam Petitum 
1. Menyatakan bahwa penyitaan barang bukti berupa kendaraan spesifikasi  Roda Dua Honda beat, Nomor Rangka MH1JFZ128JK635393, Nomor Mesin JFZ1E-2639130  DM 2775 CN atas nama STNK Abdurahman Akasih adalah tidak sah, melawan hukum dan batal demi hokum
2. Memerintahkan kepada Termohon untuk sesegera menyerahkan barang sitaan milik Pemohon yakni Kendaraan Roda Dua Honda beat, Nomor Rangka MH1JFZ128JK635393, Nomor Mesin JFZ1E-2639130  DM 2775 CN atas nama STNK Abdurahman Akasih, kepada pemohon seketika putusan ini di bacakan. 
3. Memerintahkan  Termohon untuk memulihkan hak-hak pemohon baik dalam kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai warga negara indonesia yang baik
4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo
atau
Jika Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta cq.  Yang mulia Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) ;
 
Demikian permohonan PraPeradilan ini kami sampaikan, atas perhatianya di ucapkan terima kasih.
“FIAT JUSTISIA RUAT COELUM” 
 
Hormat kami
Kuasa Hukum Pemohon
 
 
  Adv. Irman Ukali, SH
Pihak Dipublikasikan Ya