Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2020/PN Tmt Risang Septian Putranto, SE Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 27 Agu. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Tanggal Surat Kamis, 27 Agu. 2020
Nomor Surat 6/Pid.Pra/2020/PN Tmt
Pemohon
NoNama
1Risang Septian Putranto, SE
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  Perihal: Permohonan Peraperadilan 
 
Kepada Yang Terhormat 
Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta 
Jl. Ahmad Yani, Tilamuta, Kab. Boalemo 
 
Dengan hormat. 
Yang bertandatangan di bawah ini: 
 
Adv. Suslianto, S.H.,M.H 
Adv. Rickiyanto J. Monintja, S.H 
Adv. Yusri Ibrahim, S.H 
Adv. Febriyan Potale, S.H 
 
Advokat dan Konsultan Hukum yang berkantor pada Concessa Law Firm,  
berlamat di Jalan Manggis, Nomor 08, Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota 
Selatan,  Kota  Gorontalo,  Provinsi  Gorontalo,  nomor handphone: 
082349625224/081223332784,  email: suslianto51@gmail.com,  yang 
bertindak  baik  secara  bersama-sama  maupun  masing-masing/sendiri-
sendiri, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21 Agustus 2020 yang 
telah  didaftarkan  pada  Kepaniteraan  Pengadilan  Negeri  Tilamuta 
( terlampir) baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak 
untuk dan atas nama: 
Nama  : Risang Septian Putranto, S.E 
 Umur : 29 Tahun 
Warga Negara : Indonesia 
Pekerjaan  : Pegawai Negeri Sipil (PNS) 
Alamat  : Perum Graha Tenggela Indah Blok A-1 No. 1. Desa 
Tenggela Kec. Tilango, Kab. Gorontalo 
 
Dalam hal ini memilih domisili hukum pada alamat kuasanya tersebut di 
atas. Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ; 
 
Dengan ini PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 14, Pasal 17, Pasal 184 KUHAP dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, atas penetapan tersangka terhadap PEMOHON dalam dugaan 
tindak pidana pemalsuan surat/dokumen sebagaimana dimaksud dalam 
rumusan Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP yang dilakukan oleh: 
Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepolisian Daerah Gorontalo Cq. Kepolisian  Resor  Boalemo  (Polres  Boalemo)  untuk  selanjutnya  disebut 
sebagai TERMOHON; 
Adapun alasan PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan adalah sebagai berikut: 
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN: 
1. Tindakan  upaya  paksa,  seperti  penetapan  tersangka, penangkapan,  penggeledahan,  pemyitaan,  penahanan  dan penuntutan  yang  dilakukan  dengan  melanggar  ketentuan perundang-undangan, pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan  merupakan  tempat  mengadukan  pelanggaran  hak asasi  manusia,  yang  memang  pada  kenyataannya  penyusunan  KUHAP  banyak  dipengaruhi  dan  mengandung  semangat  serta merujuk  pada  hukum  internasional  yang  menjelma  dalam 
international customary law . Oleh sebab itu, praperadilan menjadi 
satu  mekanisme  kontrol  terhadap  kemungkinan  tindakan sewenang-wenang  dari  penyidik  atau  penuntut  umum  dalam melakukan tindakan tersebut. 
2. Bahwa  sebagai rechtstaat yang  menjunjung  tinggi  nilai  dan penegakan  hak  asasi  manusia,  Republik  Indonesia  telah 
meratifikasi International  Covenant  on  Civil  and  Pilitcal  Rights 
(ICCPR) yang penuh dengan ketentuan menyangkut perlindungan hak asasi manusia; 
3. Bahwa terlahirnya lembaga praperadilan adalah karena motivasi kuat oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas 
Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak 
kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang 
melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan  hukum  pidana  formal  tersebut  agar  tidak melanggar  hukum  (ilegal)  atau  tegasnya  melaksanakan  hukum pidana formal tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun  pembatasan  kemerdekaan  terhadap  seorang  tersangka atau  terdakwa  itu  benar-benar  telah  memenuhi  ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia; 
4. Bahwa  praperadilan  bertujuan  agar  hukum  ditegakkan  dan perlindungan  hak  asasi  manusia  terhadap  tersangka  dalam pemeriksaan  penyidikan  ditunaikan  dengan  baik  dan  benar. Berdasarkan  pada  nilai  itulah  penyidik  atau  penuntut  umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih 
 dan wajib mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.  
5. Bahwa  keberadaan  lembaga  praperadilan,  sebagaimana  diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu 
KUHAP  pada  hakikatnya  dimaksudkan  sebagai  sarana  kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat  penegak  hukum  (ic.Penyelidik,  Penyidik  dan  Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh  aparat  penegak  hukum  dilakukan  apabila  wewenang dilaksanakan  secara  sewenang-wenang,  digunakan  dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap  hak  asasi  setiap  orang  termasuk  dalam  hal  ini PEMOHON.  Dengan  demikian,  maka  dapat  diartikan  bahwa Lembaga  Praperadilan  yang  terdapat  di  dalam  KUHAP  identik 
dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang 
menerapkan  prinsip Habeas  Corpus ,  yang  pada  hakikatnya 
memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, pemerintah  mempunyai  kewajiban  untuk  selalu  menjamin  hak kemerdekaan setiap orang; 
6. Bahwa  dalam  perkembangannya,  pengaturan  praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, 
sering terjadi fenomena tidak dapat menjangkau pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan  hukum  yang  nyata  dan  maksimal  dari  negara. Untuk  itu  perkembangan  hukum  yang  pesat  melalui diakomodirnya mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka dan  sah  tidaknya  penyitaan  telah  diakui  merupakan  wilayah kewenangan  praperadilan,  sehingga  dapat  meminimalisasi perlakuan  sewenang-wenang  oleh  aparat  penegak  hukum. Terhadap  kaitan  perubahan  dan  perkembangan  hukum  yang
 kompleks  di  masyarakat,  termasuk  kecermatan  atas  prosedur menjadi penting untuk ditelaah. Bukanlah suatu yang mustahil berbagai hal itu terjadi dalam praktik sistem hukum yang dianut 
oleh  Indonesia,  yakni common  law  system .  Peristiwa  ini  yang 
kemudian menurut Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum” 
( legal breakthrough) atau hukum pro rakyat (hukum progresif) dan 
menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena  sesuai  dengan  perkembangan  nilai-nilai  keadilan  yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dan sangat penting dalam memandang fungsi dan peranan hukum terhadap pemabangunan nasional di Indonesia. Sehingga, dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normative yang diukur dari 
kepastinannya, melainkan juga memiliki aspek nilai ( values) yang 
merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang saat ini.  
7. Bahwa lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d  83  KUHAP  harus  dimaknai  dan  diartikan  sebagai  suatu lembaga  untuk  menguji  perbuatan  hukum  yang  akan  diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya  tuntutan  praperadilan  adalah  untuk  menguji  sah tidaknya  perbuatan  hukum  yang  dilakukan  oleh  penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau  penuntutan,  sebagaimana  secara  khusus  Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor. 21/PUUXII/ 2014, telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan;  
8. Bahwa  pengujian  keabsahan  penyelidikan,  penyidikan  dan penetapan  tersangka  melalui  lembaga  Praperadilan,  karena penetapan sebagai tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan  upaya  paksa  terhadap  seorang  warga  negara,  yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan  menilai  keabsahan  “Penetapan  Tersangka”  adalah praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat  penegak  hukum.  Oleh  karena  itu,  dalam  menguji keabsahan  status  tersangka  pada  hakikatnya  adalah  menguji dasar-dasar dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang  dapat  dilakukan  oleh  penyidik  atau  penuntut  umum terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Kata lain, pengujian terhadap  sah  dan  tidak  sahnya  seseorang  ditetapkan  sebagai tersangka,  pada  hakikatnya  adalah  menguji  induk  dari  upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga negara; 
9. Bahwa  dengan  adanya  penetapan  status  seseorang  sebagai 
tersangka in casu PEMOHON, yang dilakukan tidak berdasarkan 
hukum  atau  tidak  sah,  jelas  menimbulkan  hak  hukum  bagi seseorang  dalam  hal  ini  PEMOHON  untuk  melakukan  upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan penetapan  sebagai  Tersangka  melalui  lembaga  praperadilan. Upaya  penggunaan  hak  untuk  menilai  keabsahan  penetapan sebagai  tersangka  ini  sesuai  dengan  spirit  atau  ruh  atau  jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia 
(UU  HAM),  yang  berbunyi:  “ Setiap  orang,  tanpa  diskriminasi, 
berhak  untuk  memperoleh  keadilan  dengan  mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil 
untuk  memperoleh  putusan  yang  adil  dan  benar ”.  Hal  ini 
 merupakan pengejawantahan dari Pasal 28D ayat (1) UUD Negara 
Republik  Indonesia  Tahun  1945  yang  berbunyi:  “ Setiap  orang 
berhak  atas  pengakuan,  jaminan,  perlindungan  dan  kepastian 
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”; 
10. Bahwa dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah  satu  perwujudan  pengakuan  hak  asasi  manusia  dalam 
proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum; 
11. Bahwa praktik hukum pada dasarnya, hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang 
biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan 
yang  hakiki  dalam  semua  perkara  yang  diproses  dalam 
penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam due 
process of law menguji dua hal, yaitu: (1) apakah negara telah 
menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik tersangka tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur 
yang  ditempuh  sudah  sesuai  dengan due  process .  (Rhonda 
Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to 
the  United  States  Constitution ,  Santa  Barbara: Greenwood 
Publishing Group, halaman 1); 
12. Bahwa sangat beralasan bilamana praperadilan yang dimohonkan PEMOHON diajukan ke hadapan hakim, sebab yang dimohonkan 
oleh PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status  PEMOHON  yang  menjadi  tersangka  dan  akan  berakibat hilangnya  kebebasan  PEMOHON,  dilangggarnya  hak  asasi PEMOHON di mana tindakan TERMOHON cenderung melanggar hak asasi manusia; 
13. Bahwa  dengan  memperhatikan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, maka menjadi jelas dan 
terang  bahwa  penetapan  tersangka  adalah  merupakan  objek 
 praperadilan.  Dengan  demikian  maka  Permohonan  PEMOHON untuk  menguji  keabsahan  penetapan  PEMOHON  sebagai Tersangka  melalui  praperadilan  adalah  sah  menurut  hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi, 
“ oleh  karena  penetapan  tersangka  adalah  bagian  dari  proses penyidikan  yang  merupakan  perampasan  terhadap  hak  asasi manusia  maka  seharusnya  penetapan  tersangka  oleh  penyidik merupakan  objek  yang  dapat  dimintakan  perlindungan  melalui ikhtiar  hukum,  pranata  praperadilan.  Hal  tersebut  semata-mata untuk  melindungi  seseorang  dari  tindakan  sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada  kekeliruan,  maka  tidak  ada  pranata  lain  selain  pranata praperadilan  yang  dapat  memeriksa  dan  memutusnya.  Namun demikian, perlindungan  terhadap hak  tersangka  tidak kemudian diartikan  bahwa  tersangka  tersebut  tidak  bersalah  dan  tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah dan hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar  perlakuan  terhadap  seseorang  dalam  proses  pidana memperhatikan  tersangka  sebagai  manusia  yang  mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil PEMOHON mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili  oleh  pranata  praperadilan  adalah  beralasan  menurut 
hukum”; (Putusan MK hal 105-106). 
 
II. TENTANG FAKTA HUKUM 
1. Bahwa PEMOHON sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada BPN Kabupaten Boalemo; 
2. Bahwa dalam rangka pengurusan kenaikan pangkat dari golongan IIIa  menjadi  golongan  IIIb,  pada  medio  April  2019  PEMOHON mengurus  dan/atau  melengkapi  berkas/dokumen  persyaratan kenaikan pangkat/golongan yang terdiri atas fotokopi SK Pangkat Golongan Terakhir, fotokopi Kartu Pegawai, fotokopi SKP (Sasaran Kerja Pegawai) dan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) 
2  (dua) tahun terakhir, fotokopi Berita Acara Pelantikan Jabatan Terakhir; 
3. Bahwa PEMOHON membuat SKP dan DP3 periode 2017 dan 2018 dan selanjutnya diajukan untuk dikoreksi dan ditandatangani oleh 
atasan, yakni kepada Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo); 
4. Bahwa saat PEMOHON menghadap untuk mengajukan SKP dan DP3 pada Lk. Alrianto Sara (Kepala Seksi Penataan Pertanahan 
Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor  Pertanahan  Kab.  Boalemo),  mereka  mengatakan  akan menandatangani jika nilai yang ada pada SKP dan DP3 tersebut adalah 0 (nol); 
5. Bahwa  Lk.  Alrianto  Sara  (Kepala  Seksi  Penataan  Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala 
Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) tidak menandatangani SPK dan DP3 yang diajukan oleh PEMOHON; 
6. Bahwa PEMOHON selanjutnya menyerahkan SKP dan DP3 yang tidak  dan/atau  tanpa  ditandatangani  oleh  Lk.  Alrianto  Sara 
(Kepala  Seksi  Penataan  Pertanahan  Kantor  Pertanahan  Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo) kepada Suryadi Wuata yang saat itu menjabat sebagai Kabag TU di Kanwil BPN Provinsi Gorontalo; 
7. Bahwa PEMOHON tidak mengetahui lagi tentang tanda tangan Lk. Alrianto  Sara  (Kepala  Seksi  Penataan  Pertanahan  Kantor 
 Pertanahan Kab. Boalemo) dan Lk. Purnama Saboli (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Boalemo);   
8. Bahwa  selanjutnya  PEMOHON  akhirnya  naik  pangkat  dan golongan  dari  IIIa  menjadi  IIIb,  berdasarkan  Surat  Keputusan 
Menteri  Agraria  dan  Tata  Ruang  Badan  Pertanahan  Nasional Nomor;43/SK-100.2.02/III/2019 tanggal 18 Maret 2019 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil; 
9. Bahwa  selanjutnya  PEMOHON  diadukan  oleh  Purnama  Saboli kepada  TERMOHON  dengan  tuduhan  dugaan  tindak  pidana pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263  Ayat  (1)  dan Ayat  (2)  KUHP  dalam  Laporan  Polisi  Nomor: LP/110/IX/RES.1.9/2019/SPKT/Res  –  Blmo,  tanggal  10 September 2019; 
10. Bahwa  TERMOHON  menerbitkan  Surat  Perintah  Penyelidikan Nomor:  SP.Lidik/141/IX/RES.1.9/2019/Reskrim,  tanggal  18 September 2019; 
11. Bahwa  TERMOHON  menerbitkan  Surat  Perintah  Penyidikan Nomor:  SP.Sidik/67/XI/RES.1.9/2019/Reskrim,  tanggal  4 November 2019; 
12. Bahwa  TERMOHON  menerbitkan  Surat  Pemberitahuan 
Dimulainya  Penyidikan (SPDP)  Nomor: 
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019; 
13. Bahwa  TERMOHON  melakukan  penyitaan  barang/benda PEMOHON. Barang/benda tersebut adalah:  
-  1 (satu) buah laptop Lenovo 12 inci type 2522-22U S/N R8-
C3HKA 11/05 Product ID: 2522222U berwarna hitam; 
-  1  (satu)  buah  charging/adaptor  laptop  Lenovo  12  inci  type 
2522-22U  S/N  R8-C3HKA  11/05  Product  ID:  2522222U berwarna  hitam,  dengan  adanya  Surat  Tanda  Penerimaan, tertanggal 6 Februari 2020; 
14. Bahwa  TERMOHON  melakukan  penyitaan  barang/benda PEMOHON. Barang/benda tersebut adalah:  
-  1 (satu) lembar Surat Asli Petikan Surat Keputusan Menteri 
Agraria dan  Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No.43/SK-100.2.KP.02.02/III/2019 Tentang Kenaikan  Pangkat  Pegawai  Negeri  Sipil  Atas  Nama  Risang Septian Putranto, S.E, tanggal 18 Maret 2019; 
-  1  (satu)  lembar  Surat  Asli  Nota  Persetujuan  Teknis  Kepala 
Badan Kepegawaian Negara Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Atas Nama Risang Septian Putranto, S.E, tanggal 19 Februari 2019, dengan adanya Surat Tanda Penerimaan, tertanggal 6 Mei 2020; 
 
III. TENTANG ANALISIS HUKUM 
1. Bahwa PEMOHON adalah subjek hukum dan warga negara yang 
memiliki hak secara hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan  yang  berlaku  di  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan Republik Indonesia untuk mengajukan upaya atas akses keadilan, kemanfaatn dan kepastian hukum terkait penegekan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON; 
2. Bahwa penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk 
melaksanakan suatu aturan, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang  bersangkutan  maupun  oleh  aparat  penegak  hukum  yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Kelsen, 2011:89).  
3.   Bahwa  penegakan  hukum  yang  dilakukan  oleh  TERMOHON 
banyak  terjadi  kekeliruan/kesalahan  yang  nyata  bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan; 
4. Bahwa sangat penting menghentikan praktik hukum yang jauh 
dari terwujudnya due process dan fair procedure; 
Tentang  Penyidikan  dan  Surat  Pemberitahuan  Dimulainya Penyidikan (SPDP) 
5. Bahwa  TERMOHON  menerbitkan  Surat  dengan  Nomor: 
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim,  tanggal  6  November  2019 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan; 
6. Bahwa  pada  angka  2  (dua)  Surat  dengan  Nomor: 
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim,  tanggal  6  November  2019 perihal  Pemberitahuan  Dimulainya  Penyidikan  tersebut. 
Sebagaimana dikutip, “ Dengan ini diberitahukan bahwa pada hari 
Kamis tanggal 31 Oktober 2019 , telah dimulainya Penyidikan  
dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUH-Pidana. Yang terjadi pada bulan Juli 2019 sekitar Pukul 10.30 Wita di Desa Lamu 
Kec. Tilamuta Kab. Boalemo.” 
7. Bahwa  pada  Rujukan  huruf  (d)  Surat  dengan  Nomor: 
B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim,  tanggal  6  November  2019 perihal  Pemberitahuan  Dimulainya  Penyidikan  tersebut. 
Sebagaimana  dikutip, “Surat  Perintah  Penyidikan Nomor  : 
SP.Sidik/67/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, Tanggal  04  November 
2019 .”  
8. Bahwa mencermati uraian poin (6) dan poin (7) di atas, maka 
penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak berdasarkan 
surat perintah penyidikan, atau dengan kata lain surat perintah 
 penyidikan  terbit  setelah  penyidikan  telah  dimulai  atau dilaksanakan; 
9. Bahwa  sesuai  dengan  Pasal  13  Ayat  (1)  Peraturan  Kepala 
Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  6  Tahun  2019 
Tentang  Penyidikan  Tindak  Pidana, “Penyidikan  dilakukan 
dengan  dasar :  a.  Laporan  Polisi; dan b. Surat  Perintah 
Penyidikan. 
10. Bahwa  sesuai  dengan  Pasal  13  Ayat  (2)  Peraturan  Kepala 
Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  6  Tahun  2019 
Tentang Penyidikan Tindak Pidana, “ Surat Perintah Penyidikan  
sebagaimana  dimaksud  pada  Ayat  (1)  huruf  b, paling  sedikit 
memuat: a. dasar penyidikan; b. identitas tim penyidik; c. perkara 
yang dilakukan penyidikan; d. waktu dimulainya penyidikan ; 
dan e. identitas Penyidik selaku pejabat pemberi perintah.” 
11. Bahwa  merujuk  pada  uraian  di  atas,  menunjukkan  tindakan 
TERMOHON  tidak  sesuai  atau  tidak  berdasarkan  hukum, sehingga patut dinyatakan tindakan penyidikan yang dilakukan 
oleh TERMOHON adalah tidak sah;   
12. Bahwa  TERMOHON  menerbitkan  Surat  Pemberitahuan 
Dimulainya  Penyidikan  (SPDP)  Nomor: B/60/XI/RES.1.9/2019/Reskrim, tanggal 6 November 2019 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo dan bukan ditujukan  kepada  PEMOHON,  sebab  dalam  SPDP  tersebut TERMOHON  hanya  mencamtumkan  “tembusan”  kepada pelapor/keluarga serta terlapor/keluarga; 
13. Bahwa  sewajibnya  TERMOHON  memberikan  SPDP  kepada 
PEMOHON; 
14. Bahwa  perihal  SPDP  tidak  hanya  menimbulkan  ketidakpastian 
hukum, akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor 
dan  korban/pelapor,  sebagaimana  Mahkamah  Konstitusi 
 menyatakannya dalam Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015, 
bahwa “ pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa 
penuntut  umum akan  tetapi  juga  terhadap terlapor  dan 
korban/pelapor.” 
15. Bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Penyidik 
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, 
dan wewenang di bidang penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan  perundang-undangan,  yang  dilaksanakan  secara profesional,  transparan  dan  akuntabel  terhadap  setiap  perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan kepastian  hukum,  rasa  keadilan  dan  kemanfaatan.  Sehingga terbitlah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana sebagai manifestasi Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015; 
16. Bahwa pada Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  6  Tahun  2019  Tentang  Penyidikan 
Tindak  Pidana  dijelaskan  “ SPDP  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal  13  ayat  (3)  dikirimkan  kepada  penuntut  umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) 
hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.” 
17. Bahwa baik dalam Putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan 
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun  2019  Tentang  Penyidikan  Tindak  Pidana,  SPDP  wajib diberikan oleh penyidik kepada terlapor dan pelapor/korban; 
18. Bahwa  mencermati  SPDP  yang  dikirimkan/diberikan  oleh 
TERMOHON  kepada  PEMOHON  sebagai  terlapor,  nyata  tidak sesuai dengan ketentuan hukum yakni  Putusan  MK RI  Nomor 130/PUU-XIII/2015  dan  Peraturan  Kepala  Kepolisian  Negara Republik  Indonesia  Nomor  6  Tahun  2019  Tentang  Penyidikan Tindak  Pidana,  sebab  SPDP  hanya  ditujukan  kepada  jaksa 
 penuntut  umum  melalui  Kepala  Kejaksaan  Negeri  Boalemo, sebagaimana fakta SPDP ditujukan;  
19. Bahwa ketentuan dalam 2 (dua) produk hukum di atas, sama 
sekali  tidak  menyebutkan  bahwa  SPDP  diberikan/dikirimkan kepada  terlapor  dan  pelapor/korban  dengan  format/bentuk tembusan; 
20. Bahwa mengingat SPDP yang administratif dan merupakan bagian 
penting  dari  ketertiban  administrasi  perkara,  seharusnya dilaksanakan  sesuai  ketentuan  hukum  yang  ada  demi penyempurnaan  administrasi  yustisial  yang  di  dalamnya terkandung hak konstitusional warga negara; 
21. Bahwa dalam SPDP, PEMOHON sebagai terlapor hanya “sekadar 
tembusan”  yang  sama  sekali  tidak  berdasar  pada  ketentuan perundang-undangan; 
22. Bahwa  wajibnya  SPDP  diberikan/dikirimkan  atau  ditujukan 
masing-masing/sendiri-sendiri  kepada  jaksa  penuntut  umum, terlapor, dan pelapor/korban. Mengingat, jaksa penuntut umum, terlapor  dan  pelapor/korban  adalah  subjek  atau  pihak  yang berbeda, serta yang paling penting dipahami adalah terlapor dan pelapor/korban memiliki hak konstitusional yang dilindungi dan wajib dipenuhi oleh negara, sebagaimana pernyataan dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; 
23. Bahwa  PEMOHON  berhak  mendapatkan  SPDP  yang  eksplisit 
ditujukan khusus kepada pribadi/atas nama PEMOHON bukan dengan format atau bentuk tembusan; 
24. Bahwa TERMOHON tidak memberikan SPDP kepada PEMOHON 
sebagaimana  kewajiban  normatif  yang  harus/mesti/wajib dilaksanakan oleh TERMOHON; 
25. Bahwa  PEMOHON  tidak  mendapatkan  SPDP  dari  TERMOHON 
sebagaimana hak konstitusional yang dimiliki oleh PEMOHON; 
 Tentang Penggeledahan 
26. Bahwa  melalui  Putusan  MK  RI  Nomor  21/PUU-XII/2014, 
Mahkamah  Konstitusi  menyatakan,  “ Pasal  77  huruf  a  Undang-
Undang  Nomor  8  Tahun  1981  Tentang  Hukum  Acara  Pidana (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1981,  Nomor  76, Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3209) bertentangan  dengan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia  Tahun  1945  sepanjang  tidak  dimaknai  termasuk 
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;” 
27. Bahwa objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh 
Pasal  77  KUHAP  yaitu: “a)  sah  atau  tidaknya  penangkapan, 
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan  b)  ganti  kerugian  dan  atau  rehabilitasi  bagi  seorang  yang perkara  pidananya  dihentikan  pada  tingkat  penyidikan  atau 
penuntutan” .  Tetapi  juga  termasuk  penetapan  tersangka, 
penggeledahan, dan penyitaan; 
28. Bahwa  Pasal  28G  Ayat  (1)  UUD  1945  berbunyi:  “Setiap  orang 
berhak  atas  perlindungan  diri  pribadi,  keluarga,  kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak 
asasi.” 
29. Bahwa pada:  
-  Pasal  32  KUHAP,  “ Untuk  kepentingan  penyidikan,  penyidik 
dapat  melakukan  penggeledahan  rumah  atau  penggeledahan pakaian  atau  penggeledahan  badan  menurut  tata  cara  yang 
ditentukan dalam undang-undang ini.” 
-  Pasal 33 Ayat (1) KUHAP, “ Dengan surat izin ketua pengadilan 
negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.” 
-   Pasal 33 Ayat (2) KUHAP, “ Dalam  hal  yang  diperlukan  atas 
perintah  tertulis  dari  penyidik,  petugas  kepolisian  negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.” 
-  Pasal  33  Ayat  (5)  KUHAP, “Dalam  waktu  dua  hari  setelah 
memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.” 
-  Pasal 34 Ayat (1) KUHAP, Dalam keadaan yang sangat perlu 
dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:  
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;  
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;  
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di 
tempat penginapan dan tempat umum lainnya.”  
-  Pasal  34  Ayat  (2)  KUHAP,  “ Dalam  hal  penyidik  melakukan 
penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak  pidana  yang  bersangkutan,  kecuali  benda  yang berhubungan  dengan  tindik  pidana  yang  bersangkutan  atau yang  diduga  telab  dipergunakan  untuk  melakukan  tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua  pengadilan  negeri  setempat  guna  memperoleh persetujuannya.” 
-   Pasal  126  Ayat  (1)  KUHAP,  “ Penyidik  membuat  berita  acara 
tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).” 
-  Pasal 126 Ayat (2) KUHAP,  “ Penyidik membacakan lebih dahulu 
berita  acara  tentang  penggeledahan  rumah  kepada  yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala 
desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.” 
30. Bahwa penggeledahan yang termasuk dalam upaya paksa, diatur 
dengan jelas dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara  Republik  Indonesia  Nomor  6  Tahun  2019  Tentang 
Penyidikan  Tindak  Pidana, “Penggeledahan  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Pasal  16  huruf  d,  dilakukan  oleh Penyidik/Penyidik Pembantu dengan dilengkapi dengan: a. surat 
perintah  penggeledahan ; dan  b.  surat  izin  penggeledahan  dari 
pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.”  
31. Bahwa  TERMOHON  dalam  melakukan  penggeledahan  atas 
PEMOHON tidak dilengkapi dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat; 
32. Bahwa  TERMOHON  dalam  melakukan  penggeledahan  atas 
PEMOHON membuat berita acara dan tidak memberikan turunan berita  acara  kepada  PEMOHON  sebagai  pemilik  rumah  atau penghuni rumah yang bersangkutan; 
33. Bahwa  TERMOHON  dalam  melakukan  penggeledahan  atas 
PEMOHON  tidak  dilengkapi  surat  perintah  penggeledahan, melainkan  hanya  ucapan  lisan  bahwa  penggeledahan  adalah perintah dari Kasat Reskrim; 
34. Bahwa  TERMOHON  dalam  melakukan  penggeledahan,  tidak 
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  KUHAP  dan  Peraturan 
 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana; 
35. Bahwa penggeledahan TERMOHON tidak sah; 
Tentang Penyitaan 
36. Bahwa  penyitaan  menjadi  suatu  objek  praperadilan  dengan 
merujuk  pada  pendapat  Mahkamah  Konstitusi  RI  yang menyatakan penggeledahan dan penyitaan termasuk dalam ruang lingkup  praperadilan  sebab  bagian  dari  mekanisme  kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan penuntut umum. 
37. Bahwa pada Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP: 
-  Ayat  (1)  “ Penyitaan  hanya  dapat  dilakukan  oleh  penyidik 
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”  
-  Ayat  (2) Dalam  keadaan  yang  sangat  perlu  dan  mendesak 
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk  mendapatkan  surat  izin  terlebih  dahulu,  tanpa mengurangi  ketentuan  ayat  (1)  penyidik  dapat  melakukan penyitaan  hanya  atas  benda  bergerak  dan  untuk  itu  wajib segera  melaporkan kepada ketua pengadilan  negeri setempat 
guna memperoleh persetujuannya.” 
38. Bahwa  terkait  penyitaan,  perlindungan  yang  diberikan  oleh 
hukum  acara  pidana  termasuk  dari  tindakan  pencarian  bukti 
kesalahan  yang  tidak  masuk  akal  dan  menjurus  pada unfair 
prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar 
hukum  dalam  proses  penyelidikan  dan  penyidikan  yang  tidak 
berdasar atas hukum (unlawful legal evidence); 
39. Bahwa berdasarkan Pasal 129 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP: 
-  Ayat  (1) “Penyidik  memperlihatkan  benda  yang  akan  disita 
kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada 
 keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua 
Iingkungan dengan dua orang saksi.” 
-  Ayat  (2)  “Penyidik  membuat  berita  acara  penyitaan  yang 
dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita  atau  keluarganya  dengan  diberi  tanggal  dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.” 
40. Bahwa  sesuai  ketentuan  yang  jelas  dalam  Pasal  21  Ayat  (2) 
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun  2019  Tentang  Penyidikan  Tindak  Pidana, 
“Penyidik/Penyidik  Pembantu  yang  melakukan  penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan: a. surat perintah penyitaan; dan b. surat izin penyitaan dari ketua 
pengadilan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.” 
41. Bahwa  sesuai  ketentuan  yang  jelas  dalam  Pasal  21  Ayat  (4) 
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 
Tahun  2019  Tentang  Penyidikan  Tindak  Pidana, “Penyitaan 
dilakukan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangan-
undangan.” 
42. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan, tidak memiliki 
surat izin ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP dan tidak memiliki persetujuan ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Ayat (2) KUHAP; 
43. Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan juga tidak sesuai 
dengan  ketentuan  Pasal  21  Ayat  (2)  dan  Pasal  21  Ayat  (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana’ 
44.   Bahwa TERMOHON dalam melakukan penyitaan tidak membuat 
berita acara penyitaan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 129 
Ayat (2) KUHAP; 
45. Bahwa TERMOHON hanya menerbitkan Surat Tanda Penerimaan 
yang  ditanda  tangani  oleh  PEMOHON  dalam  melakukan penyitaan, yang masing-masing tertanggal 6 Februari 2020 dan 6 Maret 2020; 
46. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah
Tentang Penetapan Tersangka 
47. Bahwa  penetapan  tersangka  adalah  perampasan  hak  asasi 
manusia; 
48. Bahwa penetapan status tersangka kepada seseorang sangat erat 
kaitannya  dengan  kelayakan  dan  ketenteraman  hak konstitusional, hak hidup yang nyaman, karena bagaimanapun juga  tekanan  psikologis  status  tersangka  dapat  mempengaruhi pola perikehidupan seseorang; 
49. Bahwa  selanjutnya  sesuai  dengan  pertimbangan  Putusan 
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 65/PUU-IX/2011, tanggal 1 Mei 
2012  yang  antara  lain  menyatakan, “Bahwa  pada  dasarrnya 
setiap  tindakan  upaya  paksa,  seperti  penangkapan, penggeledahan,  penyitaan,  penahanan,  dan  penuntutan,  yang dilakukan  dengan  melanggar  peraturan  perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga dengan  adanya  praperadilan  diharapkan  pemeriksaan  perkara pidadn  dapat  berjalan  sesuai  dengan  peraturan  hukum  yang berlaku.  Pengawasan  oleh  pengadilan  negeri  sebagai  badan peradilan tingkat pertama dimaksudkan untuk mengontrol, menilai, menguji,  dan  mempertimbangkan  secara  yuridis,  apakah  dalam tindakan  upaya  paksa  terhadap  tersangka/terdakwa  oleh penyelidik/penyidik  atau  penuntut  umum  telah  sesuai  dengan 
 KUHAP,” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, 
bertanggal 1 Mei 2012, halaman 28); 
50. Bahwa  penyidikan  adalah  kegiatan  mengumpulkan  bukti  yang 
akan  membuat  terang  perkara  sehingga  kemudian  dapat menemukan tersangka. Sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah  penetapan  secara  acak,  karena  penetapan  tersangka secara  acak  dan  tidak  sesuai  ketentuan  hukum  akan  sangat merugikan orang atau individu sebagai subjek hukum; 
51. Bahwa  sebagaimana  dipahami,  hukum  acara  pidana  adalah 
hukum  yang  mengatur  dan  memberikan  batasan  yang  dapat dilakukan  oleh  negara  dalam  proses  penyelidikan,  penyidikan hingga  proses  peradilan  dengan  metode  yang  baku  untuk menegakan  hukum  dan  melindungi  hak-hak  indvidu  selama proses hukum berlangsung; 
52. Bahwa  proses  penetapan  seseorang  sebagai  tersangka  adalah 
suatu  penilaian  yuridis  yang  mengacu  pada  ketentuan  hukum 
yang ada; 
53. Bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka berdasarkan paling 
sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti; 
54. Bahwa perlu dipertanyakan terkait alat bukti yang digunakan oleh 
TERMOHON  dalam  menetapkan  status  tersangka  terhadap PEMOHON;  
55. Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON 
melalui  Surat  Pemberitahuan  Peralihan  Status  Nomor: B/51.a/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020, tanpa adanya Surat Penetapan Tersangka; 
56. Bahwa  Surat  Pemberitahuan  Peralihan  Status  yang  diterbitkan 
oleh  TERMOHON  berdasarkan  pada  Surat  Ketetapan  Peralihan Status Nomor: S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020; 
57.   Bahwa  Surat  Ketetapan  Peralihan  Status  Nomor: 
S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim tidak pernah diberikan oleh TERMOHON  kepada  PEMOHON,  di  mana  surat  ketetapan  itu merupakan  bagian  yang  utuh  dari  hak  PEMOHON  untuk mengetahui status hukumnya dan hal ini sungguh penting dari segi kepastian hukum; 
58. Bahwa  Surat  Ketetapan  Peralihan  Status  dan  Surat 
Pemberitahuan  Peralihan  Status  yang  diterbitkan  oleh TERMOHON sangat ambigu/kabur/tidak jelas/tidak berdasar;  
59. Bahwa  dalam  Peraturan  Kepala  Kepolisian  Negara  Republik 
Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana 
tidak  mengatur  tentang  peralihan  status  melainkan  tentang penetapan  tersangka  yang  tentu  idealnya  diwujudkan  dalam bentuk surat penetapan tersangka yang di dalamnya akan terkait dengan peralihan status, sehingga proses hukum PEMOHON akan jelas dan kepastian hukum tidak ambigu/kabur/tidak jelas; 
 
IV. KESIMPULAN 
1.   Oleh  karena  pertimbangan  dasar  hukum,  fakta  hukum  dan 
analisis hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka tindakan-tindakan  TERMOHON  diduga  kuat  dan/atau  secara nyata telah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 
2. Bahwa  permohonan  praperadilan  ini  diajukan  demi  keadilan, 
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi PEMOHON, sebab hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak ada 
lagi yang dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi 
jus incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, di situ 
tidak ada hukum). 
3.   Bahwa  segala  tindakan  TERMOHON  dan  akibatnya  sangat 
merugikan PEMOHON sebagai subjek hukum dan warga negara Republik Indonesia;  
4. Berdasarkan  pada  hal-hal  yang  tersebut/diuraikan  di  atas, 
terhadap Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta agar kiranya dapat menerima  permohonan  ini  dan  menggelar  sidang  praperadilan serta kepada Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta Cq. hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan sebagai berikut: 
..............................................MENGADILI........................................... 
a. Menerima seluruh permohonan PEMOHON; 
b. Memutuskan/menyatakan  bahwa  penetapan  tersangka  oleh 
TERMOHON  sesuai  surat  Nomor:  S.Tap/51/VII/Res 1.9/2020/Reskrim, tanggal 16 Juli 2020, tidak sah dan tidak berdasarkan hukum; 
c. Memerintahkan  TERMOHON  mencabut  status  tersangka 
terhadap PEMOHON; 
d. Memerintahkan  penghentian  penyidikan  perkara  atau 
mengeluarkan SP3; 
e. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan, 
dan harkat serta martabat; 
f. Apabila  hakim  berpendapat  lain,  dimohonkan  kiranya  agar 
memberikan keputusan yang seadil-adilnya. 
 
Demikian permohonan praperadilan ini disampaikan, besar harapan dan cita-cita  PEMOHON  untuk  dapat  dikabulkan  oleh  Ketua  Pengadilan Negeri Tilamuta Cq. Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus dalam  sidang  praperadilan  sebagaimana  dalil  dan  petitum  dalam permohonan ini.  
Pihak Dipublikasikan Ya