Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TILAMUTA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Tmt Halim Umar Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo,Cq Kapolsek Paguyaman Pantai Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 31 Mei 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Tmt
Tanggal Surat Rabu, 31 Mei 2023
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2023/PN Tmt
Pemohon
NoNama
1Halim Umar
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda Gorontalo Cq Kapolres Boalemo,Cq Kapolsek Paguyaman Pantai
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
 
Gorontalo, 31 Mei 2023
Kepada Yang Terhormat,
KETUA PENGADILAN NEGERI TILAMUTA 
Cq. Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
Di-
Gorontalo 
 
Perihal : Permohonan Prapradilan
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : HALIM UMAR
NIK : 7502070502740001
Tempat Lahir : Bubaa
Umur/Tgl Lahir : 49 Tahun/ 05-02-1974
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Dusun Jaya Karya, Desa Bubaa, 
  Kec Paguyaman Pantai, Kab Boalemo, Prov Gorontalo
Agama : Islam 
Pekerjaan : Kepala Desa
Kewarganegaraan : Indonesia
Dalam hal ini memberikan kuasa kepada yang tersebut dibawah ini:
 
1. MOHAMAD SIDDIQ LASALENG, S.H.
2. DONAL TALIKI, S.H.
3. ANDRIANUS SULEMAN, SH., M.H
4. SARLIN R ALI, S.H
Kesemuanya berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Advokat dan Konsultan Hukum, pada Kantor Advokat “VANGUARD LAW OFFICE”, beralamat Kantor di Jalan Kenangan, Kelurahan Dulalowo Timur, Kecamatan Kota Tengah, Kota 
Gorontalo, Domisili Elektronik: vanguardlawoffice@gmail.com. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Mei 2023, bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama, Selanjutnya sebagai PEMOHON;
 
MELAWAN
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Cq. Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo (Kapolda), Cq Kepala Kepolisian Resor Boalemo (Kapolres), Cq Kepala Kepolisian Sektor Paguyaman Pantai (Kapolsek), yang berkedudukan di Desa Bubaa, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo;
Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;
Adapun hal-hal yang menjadi dasar dan alasan-alasan diajukan permohonan ini sebagai berikut; -------------------------------------------------------
 
I. KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI TILAMUTA 
 
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan/atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;
2. Bahwa Pasal 78 ayat (1) KUHAP menyebutkan:“Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksuddalamPasal77adalahpraperadilan”;
3. Bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP menyebutkan :“Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yangberwenang.”
4. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
5. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanggal 28 April 2015 telah memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir(final dan mengikat), yang pada pokonya sebagai berikut: 
 
“… Frasa “bukti permulaan, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981  tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana;
 
Frasa “bukti permulaan, “bukti permulaan yang cukup”, dan “buktiyangcukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
 
“ Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981,Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertantangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981,Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknani termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”
Dengan demikian dimaknai, bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan adalah objek Praperadilan;
6. Bahwa berdasarkan uraian diatas, maka dapat diartikan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili permohonan praperadilan untuk menilai keabsahan tindakan penyidik/penuntut umum, yakni, salah satunya tentang penetapatan tersangka serta mengingat kedudukan hukum Termohon in casu Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Cq. Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo (Kapolda), Cq Kepala Kepolisian Resor Boalemo (Kapolres), Cq Kepala Kepolisian Sektor Paguyaman Pantai (Kapolsek), yang berkedudukan di Jalan Achmad A. Wahab Nomor 17, Desa Pantungo, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, dimana secara yuridis masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tilamuta sehingga beralasan hukum Pengadilan Negeri Tilamuta berwenang memeriksa dan mengadili permohonan Praperadilan a quo;
 
II. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON 
1. Bahwa ketentuan Pasal 79 KUHAP, Menyatakan: 
“Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”;
2. Bahwa merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU- XII/2014, tanggal 28 April 2015 sebagimana diuraikan diatas, maka menurut hemat Para Pemohon, permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri (in casu Pengadilan Negeri Tilamuta) dengan menyebutkan alasannya. Singkatnya, Pemohon sebagai Tersangka adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan Praperadilan ini;
3. Bahwa pemohon adalah warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Desa Buba’a Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo yang menjadi korban dengan adanya penerbitan dugaan Ijazah Palsu pendidikan kesetaraan program paket C yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan penyelenggara ujian pendidikan (PKBM Delima) Kabupaten Boalemo padahal pemohon tidak mengetahui dan terlibat dalam penerbitan Ijazah Palsu pendidikan kesetaraan program paket C, akan tetapi pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh termohon sebagaimana diketahui pemohon melalui Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/20/III/RES.1.9./2023/Reskim, Tanggal 29 Maret 2023 yang tidak di terima langsung oleh Pemohon dan keluarga pemohon;
4. Bahwa berdasarkan uraian diatas, maka pemohon melalui kuasanya adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pemeriksaan sidang Praperadilan a quo; 
 
III. DASAR DAN ALASAN, FAKTA-FAKTA PERMOHON PEMOHON 
 
1. DASAR HUKUM
a. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana control dan pengawasan horizontal untuk menguji melalui Praperadilan tentang keabsahan penggunaan wewenang yang diberikan oleh hukum kepada aparat penegak hukum (in casu Termohon)sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan atau digunakan secara sewenang-wenang dengan maksud dan/atau tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP guna menjamin hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini adalah pemohon;
b. Bahwa Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan yang dilakukan oleh penyidik (in casu Termohon) sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tindakan itu telah disertai dan dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat dan tepat atau tidak. Sebab, permohonan Praperadilan dilakukan untuk melihat apakah sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan atau menggunakan wewenangnya dalam penyidikan atau penuntutan. Lebih lanjut bahwa, tujuan Praperadilan sebagaimana tersirat dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP yakni untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal sehingga makna dari Praperadilan adalah untuk mengawasi penggunaan wewenang dan tindakan yang dilakukan oleh penyidik (incasu Termohon) terhadap seorang tersangka (in casu Para Pemohon) sungguh-sungguh dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP dan/atau peraturan lainnya;
c. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013, tertanggal 6 Maret 2014 (hal.84-85), yang pada pokonya “Prinsip negara Hukum yang telah di adopsi dalam UUD 1945 (Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) Meletakan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang demikian mewajibkan orang lain, termasuk didalamnya negara, untuk menghormatinya; Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa “Kewajiban negara untuk menegakan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28 I Ayat (5) UUD 1945). Hukum Acara Pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai dengan prinsif “due process of law”. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa “terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 maka dalam proses Peradilan Pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil (vide Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945);
d. Bahwa Hukum Acara Pidana dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam “due process of law” menguji dua hal, yaitu (1) apakah negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur, (2) jika mengunakan prosedur, apakah prosedur ditempuh sesuai dengan “due process of law”. (Rhonda Waserman, 2004 dalam Procedural Due Process: A Refference Guide to the United States Constitution, Santa Baraba: Grendwood Publishing Grup, Hal 1) oleha karena itu, pada hakikatnya Hukum Acara Pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana;
Bahwa berdasarkan uraian diatas dan dikaitkan dengan rangkaian tindakan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian Sektor Paguyaman Pantai in casu Termohon, memuat fakta sebagai berikut;
2. TENTANG PENYIDIKAN DAN PENETAPAN TERSANGKA 
 
• Bahwa penegakan hukum yang dilaksanakan oleh penyidik Kepolisian Sektor Paguyaman Pantai (Termohon) tidak sesuai Prosedur atau peraturan perundang-undangan, yang mana penetapan sebagai tersangka atas diri PEMOHON adalah ilegal atau tidak sah;
• Bahwa penetapan tersangka atas diri pemohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: SP.Sidik/01/II/RES.1.9/2023/Reskim, Tanggal 29 Maret 2023, padahal diketahui segala rangkaian penyidikan oleh termohon cacat formal dan/atau tidak sah;
• Bahwa dalam perkara a quo, rangkaian penyidikan yang dilakukan oleh termohon berdasarkan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor: B/01/II/RES.1.9/2023/Reskim, tertanggal 20 Februari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/01/II/Res.1.9/2023/Reskim, Tertanggal 20 Februari 2023, yang diterbitkan oleh termohon padahal Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap perkara a quo tidak memenuhi kualifikasi dan otoritas sebagai penyidik;
• Bahwa dalam rangkaian penyidikan yang harus diperhatikan lebih dulu adalah siapa pihak yang paling berwenang melakukan penyidikan sebagaimana ketentuan Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jo Pasal 1 angka (3) Peraturan Kapolri Nomor: 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana;
• Bahwa terkait pihak yang paling berwenang dalam melakukan penyidikan, hal yang patut diperhatikan adalah kualifikasi dan otoritas penyidik guna untuk menentukan layak dan tidak serta apakah pihak a quo mempunyai kapasitas dan otoritas untuk bertindak sebagai penyidik. Jika penyidik telah memenuhi kualifikasi dan otoritas sebagai penyidik barulah dimulai segala rangkaian penyidikan;
• Bahwa dalam perkara a quo, penyidik yang melakukan rangkaian penyidikan yang tidak memiliki kualifikasi dan otoritas sebagai penyidik bertantangan dengan ketentuan Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan;
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Calon harus memenuhi persyaratan:
a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan 
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
• Bahwa diketahui Penyidik yang tidak memiliki kualifikasi dan otoritas sebagai penyidik in casu Termohon telah bertindak untuk melaksanakan rangkaian penyidikan yang dibuktikan dengan ditanda tangani berkas administrasi penyidikan sebagaimana tercatat pada Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan Nomor: B/01/II/RES.1.9/2023/Reskim, tertanggal 20 Februari 2023, Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/01/II/Res.1.9/2023/Reskim, Tertanggal 20 Februari 2023, Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/ /II/RES.1.9./2023/Reskim, tertanggal 27 Februari 2023, Surat Panggilan Tersangka I Nomor: S.Pgl/20/III/RES.1.9./2023/Reskim, Tertanggal 29 Maret 2023 padahal penyidik yang bertindak tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan rangkaian penyidikan dalam perkara a quo;
• Bahwa segala berkas administrasi penyidikan yang lahir berdasarkan proses penyidikan yang prematur diterima oleh Pemohon dalam perkara a quo; 
• Bahwa dengan demikian, secara yuridis rangkaian penyidikan dalam perkara a quo adalah ilegal dan/atau tidak sah, sebab tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka seluruh alat bukti lainnya adalah prematur dan dengan tegas hal itu merupakan pelanggaran yang terang-terangan terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan due process of law yang harusnya dijunjung dan dijamin pelaksanaannya dalam sebuah negara hukum;
• Bahwa selanjtnya, rangkaian penyidikan yang ilegal dan/atau tidak sah dijadikan dasar oleh Termohon untuk menetapkan tersangka kepada Pemohon, sehingga proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik in casu termohon mengandung kecacatan formal yang sangat nyata dan fatal sebab tidak menurut cara yang diatur dalam undang-undang;
• Bahwa agar menjadi perspektif kepada penegak hukum, izinkan pemohon mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, hal. 102-103, huruf g dan huruf k, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
 
Huruf g;
“KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika SerikaT- Contoh mekanisme pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus Kahn yang yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011 di Magistrates Court New York, setelah adanya keraguan kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi. Hal yang melatarbelakangi alat bukti harus diuji keabsahan perolehannya. Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik dan penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat   untuk   melanggar hukum akan menurun   drastis, ketiga the legitimacy of the verdicT- dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilanya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya. [Paul Roberts and Adrian Zuckerman Criminal Evidence. (New York: Oford University Press Inc, reprinted 2008), hal. 149-159]. Dengan demikian, terlihat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya”;
 
Huruf K;
“Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD 1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang samadi hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum;
• Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan; “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
• Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP sebagaimana dikutip di atas, maka seseorang ditetapkan sebagai tersangka haruslah didasarkan pada “bukti permulaan”. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” wajib dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP; Pasal 184 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa 
• Bahwa faktanya dengan melihat rangkaian penyidikan guna untuk mengumpulkan alat bukti dan memperterang adanya tindak pidana serta menetapkan tersangka yang di lakukan oleh termohon kepada pemohon tidak beralasan hukum dan/atau cacat hukum sebab di dasari tidak terpebuhinya kualifikasi Termohon sebagai penyidik;
• Bahwa hal lain yang perlu diperhatikan adalah Pemohon di tetapkan sebagai tersangka sejak Tanggal 29 Maret 2023 sampai dengan Permohonan Praperadilan ini diajukan di Pengadilan Negeri Tilamuta, Pemohon tdak pernah menerima Surat Penetapan sebagai tersangka dari Termohon, begitupun keluarga Pemohon tidak pernah menerima surat tembusan penetapan tersangka dari termohon. Sehingga pemohon merasa dirugikan atas sikap dan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka tanpa prosedur yang patut menurut hukum;
• Bahwa dengan demikian penetapan tersangka kepada Pemohon yang dilakukan dalam rangkaian penyidikan padahal diketahui Termohon tidak memiliki kualifikasi sebagai penyidik merupakan pelanggaran yang nyata dalam proses penegakan hukum; 
 
 
 
3. TENTANG UPAYA PAKSA (PENYITAAN) 
• Bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (1) Kuhap: “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan Surat izin Ketua Pengadilan Setempat”;
• Bahwa lebih lanjut ketentuan Pasal 38 Ayat (2) KUHAP, Menyebutkan; “dalam keadaan sangat perlu dan mendesak bila mana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) Penyidik hanya dapat melakukan penyitaan atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuanya. Pemberian izin penyitaan oleh Ketua Pengadilan Negeri memberikan pengesahan atau atas tindakan penyidik dalam mengumpukan barang bukti terkait suatu tindak pidana”
• Bahwa faktanya, penyidik telah melakukan penyitaan terhadap dokumen ijzah asli paket C milik Pemohon yang beratas nama Halim Hasim Umar dengan Nomor Ijasah: DN/PC 00 38722 tanpa memperlihatkan Surat Penetapan dari Pengadilan atau Surat Izin dari Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta;
• Bahwa Penyidik melakukan penyitaan tersebut hanya melalui pemberitahuan panggilan via Telpon dan memerintahkan Pemohon untuk menghadap penyidik dengan membawa beberapa dokumen milik pemohon berupa  Ijasah asli Paket C dan SK pengangkatan Kepala Desa Bubaa;
• Bahwa saat pemohon bertemu dengan penyidik in casu termohon di Kantor Kepolisian Sektor Paguyaman Pantai, Pemohon menyerahkan Ijasah asli Paket C dan memerintahkan Pemohon untuk menandatangani berita acara serah terima penyitaan;
• Bahwa upaya paksa (penyitaan) oleh Penyidik in casu termohon bertantangan dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Standar Oprasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana;
• Bahwa Dengan demikian secara yuridis, segala tindakan upaya paksa (Penyitaan) dalam perkara a quo tidak sah dan/atau tidak berlasan hukum, sehingga telah nyata dan terang menderang tindakan penyidik in casu Termohon merupakan tindakan penyelah gunaan kekuasaan (abus of power); 
 
PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, maka kami memohon kiranya Yth, Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta atau Majelis Hakim Praperadilan yang memeriksa dan mengadili mohon agar kiranya untuk dapat memutuskan permohonan ini dengan amar putusan sebagai berikut:
 
MENGADILI 
 
1. Mengabulkan Permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/01/II/RES.1.9/2023/Reskim, Tanggal 20 Februari 2023 yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon (Halim Umar) dengan menetapkanya sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam penetapan tersangka terhadap diri Pemohon atas Laporan Polisi: LP/B/01/I/2023/Sek-Pag.Pantai/Res-Boalemo, Tanggal 03 Januari 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan dan mewajibkan kepada Termohon untuk mencabut Penetapan Tersangka atas diri Pemohon (Halim Umar);
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon (Halim Umar);
6. Menyatakan Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon terhadap dokumen Permohon ijzah paket C milik Pemohon yang beratas nama Halim Hasim Umar dengan Nomor Ijasah: DN/PC 00 38722 tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya penyitaan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
7. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan dokumen Permohon ijzah paket C milik Pemohon yang beratas nama Halim Hasim Umar dengan Nomor Ijasah: DN/PC 00 38722 kepada Pemohon; 
8. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo;
 
Atau Apabila yang Mulia Ketua Pengadilan Tilamuta, Cq Hakim Pemeriksa Permohonan Praperadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya; (ex aequo et bono); 
HORMAT KAMI 
PENASIHAT HUKUM PEMOHON 
MOHAMAD SIDDIQ LASALENG, S.H.
DONAL TALIKI, S.H.
ANDRIANUS SULEMAN, SH., M.H
SARLIN R ALI, S.H
Pihak Dipublikasikan Ya